[ KAJIAN SOTOI ]
Mohammad
Hatta: Dilema Masa Kini dan Masa Depan Perekonomian di Indonesia
*Pemateri: Kiagus M. Iqbal*
Kala kita berbicara masa depan,
maka kita akan bertanya ‘apa yang akan kita lakukan selanjutnya dan apa tujuan yang
ingin kita capai di masa depan?’ Pertanyaan ini akan menjadi sangat normative maupun
deskriptif ‘apa yang akan dilakukan dan apa yang harus dilakukan?’
Mohammad Hatta, Wakil Presiden
Pertama RI cum Ekonom Pionir masa awal Indonesia, telah merumuskan apa yang akan
dilakukan dan apa yang harus dilakukan. Berbicara masa depan, perlu untuk
gambaran-gambaran besar (Grand Design)
seperti apa Indonesia saat itu.
Rumusan itu, Ekonomi Indonesia di
Masa Datang, ditulis pada 3 Februari 1946 untuk Konperensi Ekonomi di Yogyakarta,
telah memuat dasar-dasar (asas-asas) hingga pengerangkaan alur-alur ekonomi
yang akan ditempuh di masa depan. Meski
bersifat klasik, ada baiknya untuk membicarakan pemikiran beliau yang masih dianggap relevan dan ditarik
untuk di masa sekarang. Pertanyaannya, meskipun relevan, apakah pemikiran tersebut masih
bisa berlaku atau justru sudah usang? Lalu, apa saja kritik yang perlu untuk perbaikan konsep
pemikiran ekonmi Hatta tersebut (Hattanomics)?
***
Dasar-dasar perekonomian
Indonesia, pada dasarnya, sudah jelas, tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945, dalam tiga poin
penting.
1.
Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
2.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi
Negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak, dikuasai oleh Negara, dan;
3.
Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Intisari dari tiga poin diringkas
menjadi dua hal, yaitu koperasi (sebagai sistem maupun lembaga), penguasaan aset Negara
Bangsa (Cabang Produksi hingga Sumber-Sumber Agraria), dengan tujuan sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Memahami tiga poin pemikiran
tersebut, perlu untuk memahami konteks sejarah yang melatarbelakangi lahirnya
dasar-dasar perekonomian itu.
“Perekonomian
sesuati negeri pada umumnya ditentukan oleh tiga hal. Pertama, kekayaan tanahnya. Kedua, kedudukannya
terhadap negeri lain dalam lingkungan internasional. Ketiga, sifat dan kecakapan
rakyatnya serta cita-citanya. Terhadap Indonesia, harus ditambah satu pasal lagi, yaitu
sejarahnya sebagai tanah jajahan.”
(hlm. 34)
Indonesia
mengalami masa-masa kolonialisme sebagai tanah jajahan yang disifatkan sebagai ‘alat produksi utama’
bagi negara induk. Hatta meringkasnya menjadi dua hal:
Hindia Belanda memasang kebijakan
ekspor-ekstraktif dan pengerahan tenaga kerja secara besar-besaran (suatu proses akumulasi primitive yang lumrah dalam
perkembangan kapitalisme global).
Kebijakan
ekspor-ekstraktif mengandalkan pada perdagangan komoditas tertentu yang laku di
pasaran global (dalam hal ini konsumen notabene orang-orang yang telah mengalami
‘kemajuan’ Industri di Eropa dan Amerika Utara). Akibatnya, relasi komoditas global
yang mendalam, pelan tapi pasti, membutuhkan alat-alat dan instrument-instrumen
produksi.
Hindia
Belanda, dengan kekayaan tanahnya, mengalami boom komoditas yang ternyata tidak hanya laku, juga subur tumbuh
kembang. Dengan potret itu, wajar pada masa-masa krisis Belanda menghadapi
perang yang terjadi di Eropa dan di Jawa (1800-1830), bisa menyelamatkan mereka
dari gempuran krisis itu. Muncul anekdot, “Hindia Belanda merupakan gabus yang
menyelamatkan Belanda dari terpaan badai krisis.”
Hindia
Belanda telah mengalami dua (malah tiga) masa tahap kolonialisme: kolonialisme organisasi
dagang (1603-1799), kolonialisme-berbasis-negara (kolonialismemerkantilisme)
[1830-1870, berakhir total tahun 1900-an), dan
kolonialisme-berbasisliberalisme-klasik (1870-1942). Artinya, pendudukan wilayah
Nusantara telah mengalami dinamika yang tidak bisa kita pukul-rata (meski
tujuannya satu, yaitu penguasaan sumber agraria demi kepentingan akumulasi
laba).
Hal
ini juga mencerminkan dinamika usaha penguasaan sumber agraria di Hindia
Belanda. Penguasaan politik kewilayahan secara tidak langsung merupakan
instrument penting dalam konteks kolonialisme Belanda (dan umumnya memang begitu).
Artinya, penjagaan agar sumber agraria itu tidak ‘kabur’ kemana-mana dipegang
oleh otoritas politik yang telah melakukan ‘klik’, melalui perjanjian politik
maupun melalui berbagai intrik politik (bahkan, bila perlu, dengan turun
senjata).
Pendudukan
sumber agraria (dalam hal ini adalah kebutuhan akan lahan yang cukup untuk bisa
mengakumulasi laba yang ditransfer ke negeri Induk) ditambah dengan mekanisme domeinverklaring. Mekanisme ini
‘mengikhtiarkan’ tanah yang pada dasarnya tidak dapat dibuktikan hak
kepemilikannya (secara hukum formil), maka tanah itu dideklarasikan menjadi
milik negara.
Domeinverklaring
tersebut menjadi kata kunci penting terhadap dilemma penguasaan sumber agraria
yang (seharusnya) tidak dapat dipandang sebagai asas (domein) penguasaan agraria
di Indonesia. Artinya, asas domein itu menjadi titik krusial bagi penguasaan social
ekonomi Indonesia, bila ditarik, menjadi dilemma.
***
Dasar
sosial ekonomi di Indonesia pada masa awal (mungkin hingga sekarang) masih tergantung
pada bidang pertanian dan bidang-bidang yang memproduksi barang-barang mentah
lainnya (perikanan dan kelautan, peternakan, dan lain sebagainya). Artinya,
kunci sosial ekonomi di Indonesia masih di sekitar tanah dan tenaga kerja.
Dalam
konsep dualism ekonomi J.H. Boeke, terdapat pola perekonomian yang saling berbentur
dan tak bisa digabungkan satu sama lain, ekonomi timur (Hindia-Belanda) yang padat
tenaga kerja pedesaan (dan tanah!) dan ekonomi barat (Eropa dan Amerika Utara) yang
berbasis pada kerja modal (dan manajemen, tenaga kerja terorganisir dan
terlatih). Konsep ini dikritik karena menggambarkan masyarakat statis dan tidak
seimbang satu sama lain (katakanlah terlalu Rasis!).
Sedangkan
seorang ahli lainnya, Egbert De Vries, memandang benturan itu dari pola perekonomian
yang pada dasarnya berbeda kepentingan dan mengalahkan (serta ketidakseimbangan
satu pihak dengan lainnya). Bila masyarakat Timur di Hindia Belanda notabene
memiliki sumber-sumber penghidupannya pada masyarakat pedesaan yang bergotong
royong (sumber tenaga kerja manusia) dan tanah, masyarakat Barat (notabene penduduk
koloni Belanda) menguasai modal dan manajemen organisasi (hal ini termasuk dengan
masyarakat Cina yang bersifat transitif antar-keduanya).
Fokus
Hatta berada pembangunan ekonomi Indonesia berbasis sumber daya manusia. Dengan
poin usaha bersama dan asas kekeluargaan, Hatta berusaha ‘memperbaharui’ tenaga
manusia Indonesia menjadi lebih baik. Pasalnya, pengurasan tenaga kerja manusia
di Hindia Belanda selama masa colonial (Tanam Paksa hingga rezim
Kapitalisme-Liberal) dan pendudukan Jepang (Romusha dan pengerahan sumber daya
agraria yang serba eksploitatif dan keras), membuat Indonesia sempoyongan pada
masa-masa awal. Wajar terdapat kata-kata ‘bangsa kuli alias pekerja kasar’.
Kebijakan
sosial ekonomi tersebut mencakup pembangunan koperasi sebagai sistem dan lembaga
ekonomi yang berbasis pada ‘kebersamaan alias gotong royong’ juga ‘membangun secara
mandiri tenaga manusia di dalam masyakatnya sendiri’ (self-help dan auto-activiteit).
Selain
itu, kebijakan yang lain dan tak kalah penting adalah perlindungan basis
produksi penting, yaitu tanah. “Tanah adalah faktor produksi yang terutama.
Buruk baiknya penghidupan rakyat bergantung kepada keadaan milik tanah.” (hlm.
39) Maka dari itu, tanah tersebut perlu untuk ditangani seperti yang dikatakan
Hatta sebagai berikut
“Sebab itu, tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan
orang seorang untuk menindas dan memeras hidup orang banyak, dan sebab itu pula
dalam perusahaan besar, yang berpengaruh atas penghidupan orang banyak, tanah
itu tidak boleh miliknya orang seorang, tetapi mestilah di bawah kekuasaan
pemerintah.” (hlm. 39)
Baik
pembaharuan tenaga kerja maupun ketersediaan tanah di Jawa (suatu pulau dengan konsentrasi
penduduk terpadat dan kedudukan politik kekuasaan yang sentral), mengalami ketidakseimbangan.
Rasio luas lahan dengan penduduk yang timpang, menimbulkan berbagai masalah,
baik ruang hidup, penghidupan maupun kesejahteraan penduduk.
Kepadatan
penduduk yang begitu besar di Pulau Jawa, memerlukan kebijakan pemerataan sebaran
penduduk. Hatta melihat transmigrasi menjadi kebijakan penting untuk mengara pada
itu. Persebaran penduduk yang timpang, terkonsentrasi di Pulau Jawa, menjadi
urgen untuk menghindari segala masalah yang akan dihadapi ke depannya (social unrest).
Dengan
kebijakan pemerintah yang bersifat top-down
(penguasaan asset melalui kepengurusan Negara demi sebesar-besar kemakmuran
rakyat dan transmigrasi) dan rangsangan bottom-up
(koperasi), diharapkan dapat menjadi kebijakan yang tepat dalam membangun dasar
perekonomian, yang di atasnya kelak akan tumbuh rumah ekonomiIndonesia.
***
Akan
tetapi, apakah hal itu relevan di masa sekarang? Jawabannya adalah rumit.
Pertama, menjaga agar tanah sebagai asset bersama (sebagai milik bangsa
Indonesia) masih menjadi kerancuan, terutama dalam landasan kebijakannya. Asas Hak
Menguasai oleh Negara tidak dibarengi dengan Hak Bangsa Indonesia, sebagai
kendali utama dari kerja Negara (dalam hal ini pemerintah) dalam mengurus tanah
yang hingga sekarang masih rentan menjadi alat kuasa politik (yang sifatnya
patronase-transaksional).
Dengan
kata lain, kata kunci penting bagi Negara,
seringkali mengalahkan menguasai hajat
hidup orang banyak. Pertentangan itu menjadikan rumusan usaha bersama yang berlandaskan pada
asas kekeluargaan menjadi serba rancu. Apalagi, konteks saat itu adalah pola
bernegara sebagai pengurus, di mana Negara sebagai representasi Bangsa
Indonesia wajib mengurus rakyat
sebaik-baiknya.
Pertanyaannya,
rakyat yang mana? Apakah kelas menengah perkotaan, kalangan elit atau mengangkat
harkat martabat kaum lemah dan tertindas yang selama ini tidak terlihat dari mata
kaum elit founding fathers?
Ada
tiga pola kebijakan Hatta dalam awal kemerdekaan: Tanah, Koperasi, dan Transmigrasi.
Kebijakan mengenai tanah jelas bahwa pada masa awal, pemerintah berkomitmen
terhadap redistribusi tanah (baik pemilikan maupun penguasaan) dengan mencabut
keberadaan desa perdikan dan konversi tanag swapraja di wilayah Banyumas dan
Surakarta-Yogyakarta (1946-1948).
Namun,
blunder terjadi kala Hatta pada akhirnya menyetujui Perjanjian KMB dengan menerima
poin-poin yang merugikan rakyat (mengembalikan tanah perkebunan luas Belanda
dan membayar utang perang Belanda selama perang dunia!). Lalu terjadinya nasionalisasi
asset perkebunan luas pada 1958 justru menguntungkan pihak militer (yang ternyata
dalam KMB telah menunjukkan kekuatannya menolak kewenangan militer di Indonesia
oleh pasukan Belanda).
Nasionalisasi
perkebunan yang luas, dan membekasnya logika kebijakan colonial terhadap tanah
(domeinverklaring) berubah jubah menjadi Hak Guna Usaha. Meski mematok agar hanya
WNI yang berhak mendapat HGU, hal itu masih memiliki celah agar orang asing masih
bisa menguasai asset itu melalui kerjasama ventura. HGU dalam UUPA, pada akhirnya,
menjadi instrument kebijakan yang merembes pada kepentingan capital besar yang
terbukti hingga sekarang.
Studi
mengenai koperasi pun sama. Kritik seorang ahli pertanian Belanda pada 1950-an,
H. Ten Dam, menemukan fakta menarik bahwa keterlibatan penguasa (dan pemilik?)
tanah luas lebih dominan dalam gerakan koperasi, sedangkan para buruh tanu
tunakisma dan petani gurem memiliki peran yang minim sama sekali. Artinya, usaha bersama dalam asas kekeluargaan masih didominasi dalam kerangka patron-klien yang
khas dalam masyarakat pedesaan yang menandakan adanya ketergantungan dan
ketidakberdayaan.
Terakhir,
transmigrasi merupakan kebijakan yang justru harus diletakkan posisi hati-hati.
Sekalipun baik sebagai pemerata persebaran penduduk, sering terjadi
problem-problem yang akan menjadi penyesalan. Seperti terjadinya benturan
antar-etnis karena benturan budaya maupun kepentingan ekonomi, masalah penyerobotan
tanah, hingga masalah tata guna-manfaat tanah yang satu sama lain berbeda (missal
transmigran Jawa biasa dalam bersawah sedangkan tanah di Kalimantan bagus dalam
berladang dan rentan bila tanahnya digunduli).
Kritik
terhadap transmigrasi telah dilihat oleh Kampto Utomo (Prof. Sajogyo) sebagai bentuk
pemindahan kemiskinan ke luar Jawa. Artinya, transmigrasi, betapapun baiknya, belum
tentu memberi manfaat, bahkan mungkin akan menimbulkan petaka yang lebih besar
ke depannya.
*Pemateri merupakan Wasekum Bidang PTKP HMI Komisariat Tazkia (2013-2014), Wasekum Bidang Pemberdayaan Umat, lalu Ketua Bidang Pemberdayaan Umat (2014- 2015), dan Direktur Bidang Pendidikan dan Pelatihan LAPMI HMI Cabang Bogor
(2017- 2018). Kini aktif bergiat di Sajogyo Institute dan Bakornas LAPMI PB-HMI.