Minggu, 22 September 2019

Mohammad Hatta: Dilema Masa Kini dan Masa Depan Perekonomian di Indonesia


KAJIAN SOTOI ]
Mohammad Hatta: Dilema Masa Kini dan Masa Depan Perekonomian di Indonesia
*Pemateri: Kiagus M. Iqbal*
Kala kita berbicara masa depan, maka kita akan bertanya ‘apa yang akan kita lakukan selanjutnya dan apa tujuan yang ingin kita capai di masa depan?’ Pertanyaan ini akan menjadi sangat normative maupun deskriptif ‘apa yang akan dilakukan dan apa yang harus dilakukan?’

Mohammad Hatta, Wakil Presiden Pertama RI cum Ekonom Pionir masa awal Indonesia, telah merumuskan apa yang akan dilakukan dan apa yang harus dilakukan. Berbicara masa depan, perlu untuk gambaran-gambaran besar (Grand Design) seperti apa Indonesia saat itu.

Rumusan itu, Ekonomi Indonesia di Masa Datang, ditulis pada 3 Februari 1946 untuk Konperensi Ekonomi di Yogyakarta, telah memuat dasar-dasar (asas-asas) hingga pengerangkaan alur-alur ekonomi yang akan ditempuh di masa depan. Meski bersifat klasik, ada baiknya untuk membicarakan pemikiran beliau yang masih dianggap relevan dan ditarik untuk di masa sekarang. Pertanyaannya, meskipun relevan, apakah pemikiran tersebut masih bisa berlaku atau justru sudah usang? Lalu, apa saja kritik yang perlu untuk perbaikan konsep pemikiran ekonmi Hatta tersebut (Hattanomics)?
***

Dasar-dasar perekonomian Indonesia, pada dasarnya, sudah jelas, tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945, dalam tiga poin penting.
1.      Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
2.       Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh Negara, dan;
3.      Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Intisari dari tiga poin diringkas menjadi dua hal, yaitu koperasi (sebagai sistem maupun lembaga), penguasaan aset Negara Bangsa (Cabang Produksi hingga Sumber-Sumber Agraria), dengan tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Memahami tiga poin pemikiran tersebut, perlu untuk memahami konteks sejarah yang melatarbelakangi lahirnya dasar-dasar perekonomian itu.

“Perekonomian sesuati negeri pada umumnya ditentukan oleh tiga hal. Pertama, kekayaan tanahnya. Kedua, kedudukannya terhadap negeri lain dalam lingkungan internasional. Ketiga, sifat dan kecakapan rakyatnya serta cita-citanya. Terhadap Indonesia, harus ditambah satu pasal lagi, yaitu sejarahnya sebagai tanah jajahan.” (hlm. 34)

Indonesia mengalami masa-masa kolonialisme sebagai tanah jajahan yang disifatkan sebagai ‘alat produksi utama’ bagi negara induk. Hatta meringkasnya menjadi dua hal:
Hindia Belanda memasang kebijakan ekspor-ekstraktif dan pengerahan tenaga kerja secara besar-besaran (suatu proses akumulasi primitive yang lumrah dalam perkembangan kapitalisme global).  
  
Kebijakan ekspor-ekstraktif mengandalkan pada perdagangan komoditas tertentu yang laku di pasaran global (dalam hal ini konsumen notabene orang-orang yang telah mengalami ‘kemajuan’ Industri di Eropa dan Amerika Utara). Akibatnya, relasi komoditas global yang mendalam, pelan tapi pasti, membutuhkan alat-alat dan instrument-instrumen produksi.

Hindia Belanda, dengan kekayaan tanahnya, mengalami boom komoditas yang ternyata tidak hanya laku, juga subur tumbuh kembang. Dengan potret itu, wajar pada masa-masa krisis Belanda menghadapi perang yang terjadi di Eropa dan di Jawa (1800-1830), bisa menyelamatkan mereka dari gempuran krisis itu. Muncul anekdot, “Hindia Belanda merupakan gabus yang menyelamatkan Belanda dari terpaan badai krisis.”

Hindia Belanda telah mengalami dua (malah tiga) masa tahap kolonialisme: kolonialisme organisasi dagang (1603-1799), kolonialisme-berbasis-negara (kolonialismemerkantilisme) [1830-1870, berakhir total tahun 1900-an), dan kolonialisme-berbasisliberalisme-klasik (1870-1942). Artinya, pendudukan wilayah Nusantara telah mengalami dinamika yang tidak bisa kita pukul-rata (meski tujuannya satu, yaitu penguasaan sumber agraria demi kepentingan akumulasi laba).

Hal ini juga mencerminkan dinamika usaha penguasaan sumber agraria di Hindia Belanda. Penguasaan politik kewilayahan secara tidak langsung merupakan instrument penting dalam konteks kolonialisme Belanda (dan umumnya memang begitu). Artinya, penjagaan agar sumber agraria itu tidak ‘kabur’ kemana-mana dipegang oleh otoritas politik yang telah melakukan ‘klik’, melalui perjanjian politik maupun melalui berbagai intrik politik (bahkan, bila perlu, dengan turun senjata).

Pendudukan sumber agraria (dalam hal ini adalah kebutuhan akan lahan yang cukup untuk bisa mengakumulasi laba yang ditransfer ke negeri Induk) ditambah dengan mekanisme domeinverklaring. Mekanisme ini ‘mengikhtiarkan’ tanah yang pada dasarnya tidak dapat dibuktikan hak kepemilikannya (secara hukum formil), maka tanah itu dideklarasikan menjadi milik negara.

Domeinverklaring tersebut menjadi kata kunci penting terhadap dilemma penguasaan sumber agraria yang (seharusnya) tidak dapat dipandang sebagai asas (domein) penguasaan agraria di Indonesia. Artinya, asas domein itu menjadi titik krusial bagi penguasaan social ekonomi Indonesia, bila ditarik, menjadi dilemma.
***
Dasar sosial ekonomi di Indonesia pada masa awal (mungkin hingga sekarang) masih tergantung pada bidang pertanian dan bidang-bidang yang memproduksi barang-barang mentah lainnya (perikanan dan kelautan, peternakan, dan lain sebagainya). Artinya, kunci sosial ekonomi di Indonesia masih di sekitar tanah dan tenaga kerja.

Dalam konsep dualism ekonomi J.H. Boeke, terdapat pola perekonomian yang saling berbentur dan tak bisa digabungkan satu sama lain, ekonomi timur (Hindia-Belanda) yang padat tenaga kerja pedesaan (dan tanah!) dan ekonomi barat (Eropa dan Amerika Utara) yang berbasis pada kerja modal (dan manajemen, tenaga kerja terorganisir dan terlatih). Konsep ini dikritik karena menggambarkan masyarakat statis dan tidak seimbang satu sama lain (katakanlah terlalu Rasis!).

Sedangkan seorang ahli lainnya, Egbert De Vries, memandang benturan itu dari pola perekonomian yang pada dasarnya berbeda kepentingan dan mengalahkan (serta ketidakseimbangan satu pihak dengan lainnya). Bila masyarakat Timur di Hindia Belanda notabene memiliki sumber-sumber penghidupannya pada masyarakat pedesaan yang bergotong royong (sumber tenaga kerja manusia) dan tanah, masyarakat Barat (notabene penduduk koloni Belanda) menguasai modal dan manajemen organisasi (hal ini termasuk dengan masyarakat Cina yang bersifat transitif antar-keduanya).

Fokus Hatta berada pembangunan ekonomi Indonesia berbasis sumber daya manusia. Dengan poin usaha bersama dan asas kekeluargaan, Hatta berusaha ‘memperbaharui’ tenaga manusia Indonesia menjadi lebih baik. Pasalnya, pengurasan tenaga kerja manusia di Hindia Belanda selama masa colonial (Tanam Paksa hingga rezim Kapitalisme-Liberal) dan pendudukan Jepang (Romusha dan pengerahan sumber daya agraria yang serba eksploitatif dan keras), membuat Indonesia sempoyongan pada masa-masa awal. Wajar terdapat kata-kata ‘bangsa kuli alias pekerja kasar’.

Kebijakan sosial ekonomi tersebut mencakup pembangunan koperasi sebagai sistem dan lembaga ekonomi yang berbasis pada ‘kebersamaan alias gotong royong’ juga ‘membangun secara mandiri tenaga manusia di dalam masyakatnya sendiri’ (self-help dan auto-activiteit).

Selain itu, kebijakan yang lain dan tak kalah penting adalah perlindungan basis produksi penting, yaitu tanah. “Tanah adalah faktor produksi yang terutama. Buruk baiknya penghidupan rakyat bergantung kepada keadaan milik tanah.” (hlm. 39) Maka dari itu, tanah tersebut perlu untuk ditangani seperti yang dikatakan Hatta sebagai berikut
“Sebab itu, tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang seorang untuk menindas dan memeras hidup orang banyak, dan sebab itu pula dalam perusahaan besar, yang berpengaruh atas penghidupan orang banyak, tanah itu tidak boleh miliknya orang seorang, tetapi mestilah di bawah kekuasaan pemerintah.” (hlm. 39)

Baik pembaharuan tenaga kerja maupun ketersediaan tanah di Jawa (suatu pulau dengan konsentrasi penduduk terpadat dan kedudukan politik kekuasaan yang sentral), mengalami ketidakseimbangan. Rasio luas lahan dengan penduduk yang timpang, menimbulkan berbagai masalah, baik ruang hidup, penghidupan maupun kesejahteraan penduduk.

Kepadatan penduduk yang begitu besar di Pulau Jawa, memerlukan kebijakan pemerataan sebaran penduduk. Hatta melihat transmigrasi menjadi kebijakan penting untuk mengara pada itu. Persebaran penduduk yang timpang, terkonsentrasi di Pulau Jawa, menjadi urgen untuk menghindari segala masalah yang akan dihadapi ke depannya (social unrest).

Dengan kebijakan pemerintah yang bersifat top-down (penguasaan asset melalui kepengurusan Negara demi sebesar-besar kemakmuran rakyat dan transmigrasi) dan rangsangan bottom-up (koperasi), diharapkan dapat menjadi kebijakan yang tepat dalam membangun dasar perekonomian, yang di atasnya kelak akan tumbuh rumah ekonomiIndonesia.
***
Akan tetapi, apakah hal itu relevan di masa sekarang? Jawabannya adalah rumit. Pertama, menjaga agar tanah sebagai asset bersama (sebagai milik bangsa Indonesia) masih menjadi kerancuan, terutama dalam landasan kebijakannya. Asas Hak Menguasai oleh Negara tidak dibarengi dengan Hak Bangsa Indonesia, sebagai kendali utama dari kerja Negara (dalam hal ini pemerintah) dalam mengurus tanah yang hingga sekarang masih rentan menjadi alat kuasa politik (yang sifatnya patronase-transaksional).

Dengan kata lain, kata kunci penting bagi Negara, seringkali mengalahkan menguasai hajat hidup orang banyak. Pertentangan itu menjadikan rumusan usaha bersama yang berlandaskan pada asas kekeluargaan menjadi serba rancu. Apalagi, konteks saat itu adalah pola bernegara sebagai pengurus, di mana Negara sebagai representasi Bangsa Indonesia wajib mengurus rakyat sebaik-baiknya.
Pertanyaannya, rakyat yang mana? Apakah kelas menengah perkotaan, kalangan elit atau mengangkat harkat martabat kaum lemah dan tertindas yang selama ini tidak terlihat dari mata kaum elit founding fathers?

Ada tiga pola kebijakan Hatta dalam awal kemerdekaan: Tanah, Koperasi, dan Transmigrasi. Kebijakan mengenai tanah jelas bahwa pada masa awal, pemerintah berkomitmen terhadap redistribusi tanah (baik pemilikan maupun penguasaan) dengan mencabut keberadaan desa perdikan dan konversi tanag swapraja di wilayah Banyumas dan Surakarta-Yogyakarta (1946-1948).

Namun, blunder terjadi kala Hatta pada akhirnya menyetujui Perjanjian KMB dengan menerima poin-poin yang merugikan rakyat (mengembalikan tanah perkebunan luas Belanda dan membayar utang perang Belanda selama perang dunia!). Lalu terjadinya nasionalisasi asset perkebunan luas pada 1958 justru menguntungkan pihak militer (yang ternyata dalam KMB telah menunjukkan kekuatannya menolak kewenangan militer di Indonesia oleh pasukan Belanda).

Nasionalisasi perkebunan yang luas, dan membekasnya logika kebijakan colonial terhadap tanah (domeinverklaring) berubah jubah menjadi Hak Guna Usaha. Meski mematok agar hanya WNI yang berhak mendapat HGU, hal itu masih memiliki celah agar orang asing masih bisa menguasai asset itu melalui kerjasama ventura. HGU dalam UUPA, pada akhirnya, menjadi instrument kebijakan yang merembes pada kepentingan capital besar yang terbukti hingga sekarang.

Studi mengenai koperasi pun sama. Kritik seorang ahli pertanian Belanda pada 1950-an, H. Ten Dam, menemukan fakta menarik bahwa keterlibatan penguasa (dan pemilik?) tanah luas lebih dominan dalam gerakan koperasi, sedangkan para buruh tanu tunakisma dan petani gurem memiliki peran yang minim sama sekali. Artinya, usaha bersama dalam asas kekeluargaan masih didominasi dalam kerangka patron-klien yang khas dalam masyarakat pedesaan yang menandakan adanya ketergantungan dan ketidakberdayaan.

Terakhir, transmigrasi merupakan kebijakan yang justru harus diletakkan posisi hati-hati. Sekalipun baik sebagai pemerata persebaran penduduk, sering terjadi problem-problem yang akan menjadi penyesalan. Seperti terjadinya benturan antar-etnis karena benturan budaya maupun kepentingan ekonomi, masalah penyerobotan tanah, hingga masalah tata guna-manfaat tanah yang satu sama lain berbeda (missal transmigran Jawa biasa dalam bersawah sedangkan tanah di Kalimantan bagus dalam berladang dan rentan bila tanahnya digunduli).

Kritik terhadap transmigrasi telah dilihat oleh Kampto Utomo (Prof. Sajogyo) sebagai bentuk pemindahan kemiskinan ke luar Jawa. Artinya, transmigrasi, betapapun baiknya, belum tentu memberi manfaat, bahkan mungkin akan menimbulkan petaka yang lebih besar ke depannya.

*Pemateri merupakan Wasekum Bidang PTKP HMI Komisariat Tazkia (2013-2014), Wasekum Bidang Pemberdayaan Umat, lalu Ketua Bidang Pemberdayaan Umat (2014- 2015), dan Direktur Bidang Pendidikan dan Pelatihan LAPMI HMI Cabang Bogor (2017- 2018). Kini aktif bergiat di Sajogyo Institute dan Bakornas LAPMI PB-HMI.