Akhir-akhir ini kita sering diperdengarkan dengan istilah pencitraan. Istilah yang konon kabarnya dipakai sebagai kiat untuk mencapai kepopuleran secara instan. Entah siapa yang mempopulerkannya, yang jelas istilah ini kerap kali digandengkan dengan sosok-sosok politisi yang sedang menapaki jalur karir di pemerintahan.
Sabtu, 21 Februari 2015
MENGAPA HARUS PENCITRAAN?
Akhir-akhir ini kita sering diperdengarkan dengan istilah pencitraan. Istilah yang konon kabarnya dipakai sebagai kiat untuk mencapai kepopuleran secara instan. Entah siapa yang mempopulerkannya, yang jelas istilah ini kerap kali digandengkan dengan sosok-sosok politisi yang sedang menapaki jalur karir di pemerintahan.
Minggu, 15 Februari 2015
PENDIDIKAN KONSEPSI BUDAYA
Manusia terbaik, tentulah mereka yang mendatangkan
manfaat bagi manusia lain,
atau yang kita kenal dengan ‘Anfa uhum Linnas. Untuk menggapai maqom tersebut tentu harus ada proses penggalian potensi yang harus
kita lalui, yakni proses pendidikan.
Namun sayang beribu sayang proses pendidikan
yang kita kenal, disederhanakan oleh sebagian besar masyarakat,
menjadi proses belajar dari SD hingga sarjana. Bila tidak dikatakan, sekedar proses pendidikan formal
saja.
Pendidikan telah tereduksi menjadi begitu kerdil. Belajar hanya dalam ruangan persegi empat dan kita dipaksa untuk mempelajari berbagai macam ilmu usang yang begitu banyaknya. Wajar jika kita melihat sebagain besar output pendidikan, kurang bisa mengentaskan permasalahan. Hal ini ditandai dengan rasa bingung seusai menempuh pendidikan yang berujung pada kemandulan produktifitas, atau yang sering kita sebut “menganggur”.
Ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi alat baca kita dalam membedah realitas sosial, malah terpojok kaku dalam tong sampah pemikiran. Karena ilmu yang kita dapat, bukan ilmu yang kita pahami sebagai alat teropong kehidupan, melainkan ilmu yang diseragamkan, bila tidak mungkin dipaksakan sebagai kebenaran dominatif.
Logika yang dipakai adalah ‘logika gelas kosong’. Dimana peserta didik diposisikan sebagai objek tempat menampung pengetahuan yang diberikan oleh pengajar. Sehingga terkesan ada penyeragaman pemahaman, bila tidak dikatakan sebagai penindasan intelektual. Bukankah lebih baik jika posisinya disejajarkan. Baik pengajar maupun yang diajar sama-sama menjadi subjek, sementara fenomenalah yang dijadikan objek pembahasannya.
Pendidikan telah tereduksi menjadi begitu kerdil. Belajar hanya dalam ruangan persegi empat dan kita dipaksa untuk mempelajari berbagai macam ilmu usang yang begitu banyaknya. Wajar jika kita melihat sebagain besar output pendidikan, kurang bisa mengentaskan permasalahan. Hal ini ditandai dengan rasa bingung seusai menempuh pendidikan yang berujung pada kemandulan produktifitas, atau yang sering kita sebut “menganggur”.
Ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi alat baca kita dalam membedah realitas sosial, malah terpojok kaku dalam tong sampah pemikiran. Karena ilmu yang kita dapat, bukan ilmu yang kita pahami sebagai alat teropong kehidupan, melainkan ilmu yang diseragamkan, bila tidak mungkin dipaksakan sebagai kebenaran dominatif.
Logika yang dipakai adalah ‘logika gelas kosong’. Dimana peserta didik diposisikan sebagai objek tempat menampung pengetahuan yang diberikan oleh pengajar. Sehingga terkesan ada penyeragaman pemahaman, bila tidak dikatakan sebagai penindasan intelektual. Bukankah lebih baik jika posisinya disejajarkan. Baik pengajar maupun yang diajar sama-sama menjadi subjek, sementara fenomenalah yang dijadikan objek pembahasannya.
Mengutip perkataan Paulo Preire, kita hanya dididik menjadi “seperti”, yang berarti menjadi orang lain,
bukan menjadi diri sendiri. Kita dididik menjadi individu yang bisa menyesuaikan
dengan lingkungan, bukan menjadi
individu yang mampu menjawab tantangan. Jika
pendidikan yang model seperti ini terus kita lestarikan,
maka tujuan mencerdaskan bangsa hanya akan menggantung di langit,
utopis dan tidak akan pernah tercapai.
Bung Hatta menegaskan perlunya kita “mencerdaskan kehidupan bangsa”, bukan sekedar otak bangsa, bukan juga konsepsi matematika atau konsepsi Iptek semata, melainkan konsepsi budaya. Yakni budaya percaya diri, memiliki harga diri dan juga mandiri.
Bung Hatta menegaskan perlunya kita “mencerdaskan kehidupan bangsa”, bukan sekedar otak bangsa, bukan juga konsepsi matematika atau konsepsi Iptek semata, melainkan konsepsi budaya. Yakni budaya percaya diri, memiliki harga diri dan juga mandiri.
Pendidikan
merupakan fasilitas budaya untuk membentuk manusia. Dengan adanya pendidikan
diharapkan kita bisa menjadi lebih dewasa dan bisa menjadi lebih manusiawi.
Karena tujuan pendidikan adalah menciptkan insan akademis yang
mencerdaskan dan berkepribadian kemanusiaan. Semoga!
Ditulis Oleh: Joni Iskandar
Kader HMI Cabang Bogor
Komisariat STEI Tazkia
Langganan:
Postingan (Atom)