Sabtu, 21 Februari 2015

MENGAPA HARUS PENCITRAAN?

                        

                                    

Akhir-akhir ini kita sering diperdengarkan dengan istilah pencitraan. Istilah yang konon kabarnya dipakai sebagai kiat untuk mencapai kepopuleran secara instan. Entah siapa yang mempopulerkannya, yang jelas istilah ini kerap kali digandengkan dengan sosok-sosok politisi yang sedang menapaki jalur karir di pemerintahan.

Pencitraan berakar pada kata citra yang berarti gambaran yang melekat pada seseorang atau produk, bisa disebut juga nilai diri atau visual yang dipantulkan dari kata atau gambar. Dengan kata lain “pencitraan” adalah proses menampilkan pribadi seseorang atau suatu produk. Sampai disini kita bisa memahami bahwa pencitraan belum terkonotasi jelek, melainkan kata umum yang belum memihak negative atau positive. Akan tetapi perkembangan tentang budaya pencitraan sekarang menjurus pada sikap yang ingin mencari perhatian dengan menampilkan kebaikan secara sengaja. Bisa dikatakan ini bentuk dari penyempitan makna yang sudah diakui bersama.

Media menjadi pilihan untuk memperlus jangkauan pencitraan dengan harapan semakin banyak yang menyaksikan, maka semakin banyak pula yang terkena pencitraan efect. Karena dirasa media mempunyai segmen yang besar.

Tak heran jika cara ini banyak dipilih bagi mereka yang ingin menarik perhatian dalam waktu singkat. Fenomena ini semakin marak ketika media sudah tidak lagi berpihak pada kebenaran, bahkan akan lebih parah jika ia sudah menjerumus pada perselingkuhan dengan korporasi atau birokrat. Semuanya menjadi boleh asalkan ada hitung-hitungnnya. Media akan rela menggadaikan perannya sebagai panyampai informasi demi kepentingan pragmatis opurtunis.

Pencitraan pada media, sama halnya mengarahkan seseorang pada satu pemahaman. Manusia sejatinya berdiri dari corak pemikiran berbeda dengan ragam sudut pandang yang berbeda pula, dibuat untuk memahami satu kesimpulan dan itu hanya tentang kebaikan saja, jelas mencederai kehidupan bersosial. Dan ini yang tidak dibenarkan dari budaya pencitraan melalui media, karena kembali pada fungsi media itu sendiri, yakni menyampaikan informasi secara objektif tanpa dibuat-buat. Apalagi jika itu media massa yang bekerja demi kepentingan masyarakat. Dampak bahaya dari pencitraan akan memberikan penyesatan informasi.

Menyikapi budaya pencitraan, selaku masyarakat penonton atau yang di target sebagai sasaran pencitraan, haruslah lebih cerdas menganalisa dan memperbanyak referensi agar tidak mudah dikecoh. Jika tak pandai-pandai membaca makna tersirat di dalam maksud yang disampaikan media, kita akan mudah terpasung oleh citra yang dibuat secara sengaja itu.

Bagaimana dengan pencitraan yang baik?

Biarkan citra itu mengembangkan dirinya sendiri tanpa dibuat-buat. Karena yang natural biasanya lebih kuat tertanam dan membekas sampai palung hati paling dalam. Sebaliknya, pencitraan yang dibangun secara instan dan buatan akan cepat juga runtuhnya, karena tak memiliki pondasi yang kuat.
Mari belajar citra diri dari sosok kanjeng Nabi Muhammad. Beliau dikenal sebagai sosok Al-Amin karena kebiasaan jujur semenjak belia. Wajar jika setiap kalangan baik lawan maupun kawan mengakui kejujurannya, karena sifat itu sudah mengakar menjadi karakter yang kokoh, bukan hasil kerja semalam. Mari bung!
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar