Akhir-akhir ini kita sering diperdengarkan dengan istilah pencitraan. Istilah yang konon kabarnya dipakai sebagai kiat untuk mencapai kepopuleran secara instan. Entah siapa yang mempopulerkannya, yang jelas istilah ini kerap kali digandengkan dengan sosok-sosok politisi yang sedang menapaki jalur karir di pemerintahan.
Pencitraan berakar pada kata citra yang
berarti gambaran yang melekat pada seseorang atau produk, bisa disebut juga
nilai diri atau visual yang dipantulkan dari kata atau gambar. Dengan kata lain
“pencitraan” adalah proses menampilkan pribadi seseorang atau suatu produk.
Sampai disini kita bisa memahami bahwa pencitraan belum terkonotasi jelek,
melainkan kata umum yang belum memihak negative atau positive. Akan tetapi
perkembangan tentang budaya pencitraan sekarang menjurus pada sikap yang ingin
mencari perhatian dengan menampilkan kebaikan secara sengaja. Bisa dikatakan
ini bentuk dari penyempitan makna yang sudah diakui bersama.
Media menjadi pilihan untuk memperlus
jangkauan pencitraan dengan harapan semakin banyak yang menyaksikan, maka
semakin banyak pula yang terkena pencitraan efect. Karena dirasa media
mempunyai segmen yang besar.
Tak heran jika cara ini banyak dipilih bagi
mereka yang ingin menarik perhatian dalam waktu singkat. Fenomena ini semakin
marak ketika media sudah tidak lagi berpihak pada kebenaran, bahkan akan lebih
parah jika ia sudah menjerumus pada perselingkuhan dengan korporasi atau
birokrat. Semuanya menjadi boleh asalkan ada hitung-hitungnnya. Media akan rela
menggadaikan perannya sebagai panyampai informasi demi kepentingan pragmatis
opurtunis.
Pencitraan pada media, sama halnya mengarahkan
seseorang pada satu pemahaman. Manusia sejatinya berdiri dari corak pemikiran
berbeda dengan ragam sudut pandang yang berbeda pula, dibuat untuk memahami
satu kesimpulan dan itu hanya tentang kebaikan saja, jelas mencederai kehidupan
bersosial. Dan ini yang tidak dibenarkan dari budaya pencitraan melalui media,
karena kembali pada fungsi media itu sendiri, yakni menyampaikan informasi
secara objektif tanpa dibuat-buat. Apalagi jika itu media massa yang bekerja
demi kepentingan masyarakat. Dampak bahaya dari pencitraan akan memberikan
penyesatan informasi.
Menyikapi budaya pencitraan, selaku masyarakat
penonton atau yang di target sebagai sasaran pencitraan, haruslah lebih cerdas
menganalisa dan memperbanyak referensi agar tidak mudah dikecoh. Jika tak
pandai-pandai membaca makna tersirat di dalam maksud yang disampaikan media,
kita akan mudah terpasung oleh citra yang dibuat secara sengaja itu.
Bagaimana dengan pencitraan yang baik?
Biarkan citra itu mengembangkan dirinya
sendiri tanpa dibuat-buat. Karena yang natural biasanya lebih kuat tertanam dan
membekas sampai palung hati paling dalam. Sebaliknya, pencitraan yang dibangun secara
instan dan buatan akan cepat juga runtuhnya, karena tak memiliki pondasi yang
kuat.
Mari belajar citra diri dari sosok kanjeng
Nabi Muhammad. Beliau dikenal sebagai sosok Al-Amin karena kebiasaan jujur
semenjak belia. Wajar jika setiap kalangan baik lawan maupun kawan mengakui
kejujurannya, karena sifat itu sudah mengakar menjadi karakter yang kokoh,
bukan hasil kerja semalam. Mari bung!