Kamis, 10 September 2015

Satu Tahun HMI Tazkia, Tidak Lupa pada Sejarah


Sejarah merupakan akar budaya yang harus dipegang oleh setiap manusia. Dalam sebuah kesempatan Bung Karno pun pernah berpesan agar jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sebuah jargon yang kita kenal dengan “jasmerah”. Lalu bagaimana cakap jika sebuah bangsa tercerabut dari akar sejarahnya. Tentu ia akan terombang-ambing di tengah hegemoni bangsa-bangsa. Ia hanya akan menjadi pengikut dari arus massa. Sangat mudah kita temukan contohnya. Kita bisa melihat bagaimana generasi muda saat ini begitu mudahnya mengagumi budaya asing sehingga dalam beberapa kesempatan ia malah terpaksa mengingkari budaya bangsanya sendiri. Bahkan lebih sadis, ia malah menyerang balik budaya bangsa yang telah mengasuh dan membesarkannya.

Berangkat dari kalimat di atas, maka pada momen detik-detik menjelang satu tahun kelahiran komisariat kita, HMI Tazkia. Penulis akan mencoba merefleksikan awal mula kelahiran HMI Tazkia dan bagaimana kiprah serta pahit getirnya dalam meniti fase sebagai komisariat muda. Termasuk perannya dalam memfasilitasi kader umat dan kader bangsa wabil khusus, kader Tazkia yang berproses menempa diri di dalamnya. Meminjam istilah Agusalim Sitompul, inilah sebuah organisasi yang menjadi kawah candradimukanya mahasiswa.

 


Berbicara tentang HMI Tazkia, maka kita tidak bisa melupakan sebuah nama, yakni Imam Hasanul. Dia merupakan salah seorang mahasiswa Tazkia angkatan 2006. Karena dialah yang mempunyai andil banyak dalam proses kelahiran HMI Tazkia, kalau tidak boleh dikatakan sebagai pelopor utamanya. Ungkapan tersebut bukan semata mata pujian hampa makna, tapi kalimat tersebut berangkat dari realita sebenarnya.


Sejarah kelahiran ini dimulai dari pertemuan Imam Hasanul dengan beberapa mahasiswa Tazkia angkatan 2011. Sebuah skenario tak terduga sudah dirancang dengan apik oleh yang Maha Merencanakan. Melalui tangan tangan tak terlihat terhubunglah dua niat baik dari dua pihak yang belum saling kenal sebelumnya. Satu pihak ingin mengabdi terhadap almamaternya dan pihak lain berhasrat menempa diri di organisasi HMI namun masih terkendala dengan kebuntuan informasi. Perstiwa ini terjadi ketika masa-masa matrikulasi (Tingkat Pertama). Saat dimana kawan-kawan mahasiswa 2011 masih tinggal di asrama. Pada masa ini sudah mulai terbangun komunikasi, pun dalam beberapa kesempatan kawan kawan mahasiswa 2011 sudah mulai mengadakan diskusi kecil-kecilan bersama pendahulu sekaligus mentor mereka (pengkader), Imam Hasanul. 

Jumpa perdana bertempat di kampus dalam (kadal) IPB, sebuah titik dimana mahasiswa biasa ngopi atau hanya sekedar nongkrong sembari bercumbu dengan rembulan. Spot ini bernama “Tampo Mas.”

Malam itu, Imam Hasanul sengaja dengan niat yang tidak dibuat-buat, pergi menghampiri kawan tazkia 2011 dan mengajak mereka berdiskusi di Tampo Mas. Inilah awal mula persemaian benih-benih (investasi sosial) komisariat Tazkia, yang beberapa tahun kemudian baru bisa dipanen hasilnya. Semenjak jumpa perdana tadi, kawan kawan Tazkia 2011 mulai intens berdiskusi atau hanya sekedar bermain ke kosan Imam Hasanul, Batu Hulung Centre (BHC). 



Ada sebuah cerita menarik dibalik penamaan BHC. Bisa dikatakan sematan ini merupakan identitas dari gerakan HMI non struktural, karena memang kebetulan pegiat BHC juga banyak yang berasal dari non-HMI. Poros BHC ini menjadikan gerakan intelektual sebagai sumbu pemantik aktivitasnya. Salah satu model gerakkannya adalah pembuatan Kedai Ipok, sebuah kedai kopi dengan gaya lesehan yang memfasilitasi berbagai macam diskusi. Salah satu tema diskusi yang sempat penulis ikuti, yakni “Standarisasi dan Paten: Penipuan & Penjajahan Gaya Baru.”

Kembali ke sejarah pendirian komisariat. Selama kurun waktu enam bulan dari jumpa perdana, belum ada satu kali pun Latihan Kader 1 (LKI) yang diselenggarakan. Walhasil, kawan Tazkia 2011 yang sudah punya niatan menempa diri secara formal di HMI, sempat terhambat. Walau demikian, parkaderan secara kultural terus berlanjut. 

Kabar buruknya!

Sampai detik terakhir keberadaan mahasiswa angkatan 2011 di kampus Dramaga, LK I yang dinanti pun tak kunjung datang. Menjelang libur panjang semesteran, semua kader yang mau ikut LK, akhirnya lebih memilih kampung halaman. Bukan tanpa alasan, bercumbu dengan sanak saudara yang sudah lama ditinggalkan, lebih menjanjikan dibanding menunggu dalam ketidak pastian.

Tapi skenario Tuhan lagi-lagi tak bisa ditebak. Ketika pulang liburan di kampung halaman, salah seorang mahasiswa Tazkia meyempatkan diri mengikuti LK I di tempat domisilinya, Palembang. Mahasiswa itu bernama Joni Iskandar. Walhasil, benih komisariat yang telah disemai, akhirnya tak jadi mati muda. Singkat cerita, beberapa bulan kemudian, tepatnya ketika perkuliahan tingkat ke-dua sudah berjalan setengah semester, ada enam kader baru yang juga mengikuti LK I yang digelar oleh Komisariat Fakultas Ekonomi & Manajemen (FEM) IPB. Lima diantara kader tersebut adalah Mukhlisuddin, Ilham Mansur, Putu Surya, Salman Al-Farisi, Irfan Nurfalah dan satu lagi dari mahasiswa Tazkia angkatan 2009 Zapredy. Ini menjadi titik awal snow effect perkaderan HMI Tazkia.



Lonjakan kader gelombang ke-dua terjadi ketika LK I yang diselenggarakan oleh komisariat Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB. Ada enam kader yang ikut berpartisipasi, tiga di antaranya adalah angkatan 2011 yakni Andi Maulana, Khanif Al-Alam, Muhamad Iqbal dan dua orang lagi berasal dari angkatan 2009, yakni Ahmad Royhan dan Nadilul Haq, sementara satu lagi tidak tuntas sampai akhir. Menyusul kemudian, Harapan Efendy yang menuntaskan LK I nya di komisariat FEM. Begitupun selanjutnya, hampir setiap perhelatan LK yang diadakan oleh setiap komisariat di cabang Bogor, selalu ada mahasiswa Tazkia yang menjadi partisipannya, meskipun hanya seorang.

Selagi belum mempunyai komisariat penuh (legal secara konstitusi), HMI Tazkia bernaung di bawah komisariat Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB. Karena pendahulu mereka, Imam Hasanul memang sedari awal aktif di komisariat tersebut. Kurang lebih selama setahun HMI Tazkia menginduk pada komisariat FPIK dimulai dari kepengurusan Ketum Ocid. Berlanjut sampai kepengurusan Ketum Abdul Maliq Wele, kader-kader Tazkia turut aktif dalam jajaran pengurus komisariat FPIK. Keadaan demikian terus bertahan sampai tiba Agenda Konferensi Cabang (Konfercab). 

Salah satu rekomendasi yang lahir dari konfercab adalah rencana pemekaran komisariat FEMA dan Tazkia. Singkat cerita, ketika kepengurusan Cabang Periode Qiki Qilang, HMI Tazkia diketuk palu dan secara legal telah menjadi komisariat penuh. Momen itu bertepatan dengan tanggal 10 Oktober 2014. Yang menerima amanah sebagai ketum komisariat saat itu adalah Ahmad Mukhlisuddin sementara untuk periode sekarang (2014-2015) dilanjutkan oleh Taufik Nugroho, mahasiswa Tazkia 2012.


Tentulah apa yang penulis sampaikan ini hanya bagian terkecil dari sejarah kelahiran HMI Komisariat Tazkia. Tetapi yang jelas, perkataan yang pernah disampaikan oleh Tan Malaka memang benar adanya. 

Kelahiran suatu pikiran seringkali menyamai kelahiran seorang anak. Ia didahului dengan penderitaan-penderitaan menjelang kelahirannya.

Begitu juga mengenai pemikiran untuk mendirikan HMI Tazkia ini. Ia disertai dengan berbagai macam dinamika. Membunuh jarak berkilo-kilo meter demi sebuah diskusi, mengorbankan waktu dan harta benda agar setiap agenda berjalan lancar, hanyalah bagian terkecil dari proses perkaderan. Tapi, bukankah inilah yang dimaksud dengan proses menempa diri? 

Mengenyampingkan ego pribadi agar bisa mencapai kebahagiaan bersama. Itulah makna kader yang sesungguhnya. Bersedia menjadi tulang punggung untuk sekelompok orang lebih besar. Jika kita sudah terbiasa dengan pola-pola demikian, mudah-mudahan kita sedang berjalan menuju makom sebagai kader umat dan kader bangsa. Wallahu a’lamu bisshowab.

Ditulis Oleh Joni Iskandar
Kader HMI Cabang Bogor
Komisariat Tazkia









Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar