Sejarah
merupakan akar budaya yang harus dipegang oleh setiap manusia. Dalam sebuah
kesempatan Bung Karno pun pernah berpesan agar jangan sekali-kali melupakan
sejarah. Sebuah jargon yang kita kenal dengan “jasmerah”. Lalu bagaimana cakap
jika sebuah bangsa tercerabut dari akar sejarahnya. Tentu ia akan
terombang-ambing di tengah hegemoni bangsa-bangsa. Ia hanya akan menjadi
pengikut dari arus massa. Sangat mudah kita temukan contohnya. Kita bisa
melihat bagaimana generasi muda saat ini begitu mudahnya mengagumi budaya asing
sehingga dalam beberapa kesempatan ia malah terpaksa mengingkari budaya bangsanya
sendiri. Bahkan lebih sadis, ia malah menyerang balik budaya bangsa yang telah
mengasuh dan membesarkannya.
Berangkat
dari kalimat di atas, maka pada momen detik-detik menjelang satu tahun
kelahiran komisariat kita, HMI Tazkia. Penulis akan mencoba merefleksikan awal
mula kelahiran HMI Tazkia dan bagaimana kiprah serta pahit getirnya dalam meniti
fase sebagai komisariat muda. Termasuk perannya dalam memfasilitasi kader umat
dan kader bangsa wabil khusus, kader Tazkia yang berproses menempa diri di
dalamnya. Meminjam istilah Agusalim Sitompul, inilah sebuah organisasi yang
menjadi kawah candradimukanya mahasiswa.
Berbicara
tentang HMI Tazkia, maka kita tidak bisa melupakan sebuah nama, yakni Imam
Hasanul. Dia merupakan salah seorang mahasiswa Tazkia angkatan 2006. Karena
dialah yang mempunyai andil banyak dalam proses kelahiran HMI Tazkia, kalau
tidak boleh dikatakan sebagai pelopor utamanya. Ungkapan tersebut bukan semata
mata pujian hampa makna, tapi kalimat tersebut berangkat dari realita
sebenarnya.
Sejarah
kelahiran ini dimulai dari pertemuan Imam Hasanul dengan beberapa mahasiswa
Tazkia angkatan 2011. Sebuah skenario tak terduga sudah dirancang dengan apik
oleh yang Maha Merencanakan. Melalui tangan tangan tak terlihat terhubunglah
dua niat baik dari dua pihak yang belum saling kenal sebelumnya. Satu pihak
ingin mengabdi terhadap almamaternya dan pihak lain berhasrat menempa diri di
organisasi HMI namun masih terkendala dengan kebuntuan informasi. Perstiwa ini
terjadi ketika masa-masa matrikulasi (Tingkat Pertama). Saat dimana kawan-kawan
mahasiswa 2011 masih tinggal di asrama. Pada masa ini sudah mulai terbangun
komunikasi, pun dalam beberapa kesempatan kawan kawan mahasiswa 2011 sudah
mulai mengadakan diskusi kecil-kecilan bersama pendahulu sekaligus mentor
mereka (pengkader), Imam Hasanul.
Jumpa
perdana bertempat di kampus dalam (kadal) IPB, sebuah titik dimana mahasiswa
biasa ngopi atau hanya sekedar nongkrong sembari bercumbu dengan rembulan. Spot
ini bernama “Tampo Mas.”
Ada sebuah cerita menarik dibalik penamaan BHC. Bisa dikatakan sematan ini merupakan identitas dari gerakan HMI non struktural, karena memang kebetulan pegiat BHC juga banyak yang berasal dari non-HMI. Poros BHC ini menjadikan gerakan intelektual sebagai sumbu pemantik aktivitasnya. Salah satu model gerakkannya adalah pembuatan Kedai Ipok, sebuah kedai kopi dengan gaya lesehan yang memfasilitasi berbagai macam diskusi. Salah satu tema diskusi yang sempat penulis ikuti, yakni “Standarisasi dan Paten: Penipuan & Penjajahan Gaya Baru.”
Kembali
ke sejarah pendirian komisariat. Selama kurun waktu enam bulan dari jumpa
perdana, belum ada satu kali pun Latihan Kader 1 (LKI) yang diselenggarakan.
Walhasil, kawan Tazkia 2011 yang sudah punya niatan menempa diri secara formal
di HMI, sempat terhambat. Walau demikian, parkaderan secara kultural terus
berlanjut.
Kabar
buruknya!
Sampai
detik terakhir keberadaan mahasiswa angkatan 2011 di kampus Dramaga, LK I yang
dinanti pun tak kunjung datang. Menjelang libur panjang semesteran, semua kader
yang mau ikut LK, akhirnya lebih memilih kampung halaman. Bukan tanpa alasan,
bercumbu dengan sanak saudara yang sudah lama ditinggalkan, lebih menjanjikan
dibanding menunggu dalam ketidak pastian.
Tapi
skenario Tuhan lagi-lagi tak bisa ditebak. Ketika pulang liburan di kampung
halaman, salah seorang mahasiswa Tazkia meyempatkan diri mengikuti LK I di
tempat domisilinya, Palembang. Mahasiswa itu bernama Joni Iskandar. Walhasil,
benih komisariat yang telah disemai, akhirnya tak jadi mati muda. Singkat cerita,
beberapa bulan kemudian, tepatnya ketika perkuliahan tingkat ke-dua sudah
berjalan setengah semester, ada enam kader baru yang juga mengikuti LK I yang
digelar oleh Komisariat Fakultas Ekonomi & Manajemen (FEM) IPB. Lima
diantara kader tersebut adalah Mukhlisuddin, Ilham Mansur, Putu Surya, Salman
Al-Farisi, Irfan Nurfalah dan satu lagi dari mahasiswa Tazkia angkatan 2009
Zapredy. Ini menjadi titik awal snow effect perkaderan HMI Tazkia.
Lonjakan
kader gelombang ke-dua terjadi ketika LK I yang diselenggarakan oleh komisariat
Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB. Ada enam kader yang ikut berpartisipasi, tiga
di antaranya adalah angkatan 2011 yakni Andi Maulana, Khanif Al-Alam, Muhamad
Iqbal dan dua orang lagi berasal dari angkatan 2009, yakni Ahmad Royhan dan
Nadilul Haq, sementara satu lagi tidak tuntas sampai akhir. Menyusul kemudian,
Harapan Efendy yang menuntaskan LK I nya di komisariat FEM. Begitupun selanjutnya,
hampir setiap perhelatan LK yang diadakan oleh setiap komisariat di cabang
Bogor, selalu ada mahasiswa Tazkia yang menjadi partisipannya, meskipun hanya
seorang.
Selagi
belum mempunyai komisariat penuh (legal secara konstitusi), HMI Tazkia bernaung
di bawah komisariat Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB. Karena
pendahulu mereka, Imam Hasanul memang sedari awal aktif di komisariat tersebut.
Kurang lebih selama setahun HMI Tazkia menginduk pada komisariat FPIK dimulai
dari kepengurusan Ketum Ocid. Berlanjut sampai kepengurusan Ketum Abdul Maliq
Wele, kader-kader Tazkia turut aktif dalam jajaran pengurus komisariat FPIK.
Keadaan demikian terus bertahan sampai tiba Agenda Konferensi Cabang
(Konfercab).
Salah satu rekomendasi yang lahir dari konfercab adalah rencana
pemekaran komisariat FEMA dan Tazkia. Singkat cerita, ketika kepengurusan
Cabang Periode Qiki Qilang, HMI Tazkia diketuk palu dan secara legal telah
menjadi komisariat penuh. Momen itu bertepatan dengan tanggal 10 Oktober 2014. Yang
menerima amanah sebagai ketum komisariat saat itu adalah Ahmad Mukhlisuddin
sementara untuk periode sekarang (2014-2015) dilanjutkan oleh Taufik Nugroho,
mahasiswa Tazkia 2012.
Tentulah
apa yang penulis sampaikan ini hanya bagian terkecil dari sejarah kelahiran HMI
Komisariat Tazkia. Tetapi yang jelas, perkataan yang pernah disampaikan oleh
Tan Malaka memang benar adanya.
“Kelahiran
suatu pikiran seringkali menyamai kelahiran seorang anak. Ia didahului dengan penderitaan-penderitaan
menjelang kelahirannya.”
Begitu
juga mengenai pemikiran untuk mendirikan HMI Tazkia ini. Ia disertai dengan
berbagai macam dinamika. Membunuh jarak berkilo-kilo meter demi sebuah diskusi,
mengorbankan waktu dan harta benda agar setiap agenda berjalan lancar, hanyalah
bagian terkecil dari proses perkaderan. Tapi, bukankah inilah yang dimaksud
dengan proses menempa diri?
Mengenyampingkan ego pribadi agar bisa mencapai kebahagiaan bersama. Itulah makna kader yang sesungguhnya. Bersedia menjadi tulang punggung untuk sekelompok orang lebih besar. Jika kita sudah terbiasa dengan pola-pola demikian, mudah-mudahan kita sedang berjalan menuju makom sebagai kader umat dan kader bangsa. Wallahu a’lamu bisshowab.
Mengenyampingkan ego pribadi agar bisa mencapai kebahagiaan bersama. Itulah makna kader yang sesungguhnya. Bersedia menjadi tulang punggung untuk sekelompok orang lebih besar. Jika kita sudah terbiasa dengan pola-pola demikian, mudah-mudahan kita sedang berjalan menuju makom sebagai kader umat dan kader bangsa. Wallahu a’lamu bisshowab.
Ditulis Oleh Joni Iskandar
Kader HMI Cabang Bogor
Komisariat Tazkia