By Arijulmanan, M.H.I*
Pengertian asuransi selalu
dikaitkan dengan risiko, sebagaimana pendapat para ahli seperti :
Robert I. Mehr dan Emerson
Cammack, dalam bukunya Principles of Insurance menyatakan bahwa suatu
pengalihan risiko (transfer of risk) disebut asuransi.
D.S. Hansell, dalam bukunya Elements
of Insurance menyatakan bahwa asuransi selalu berkaitan dengan risiko (Insurance
is to do with risk)
Berdasarkan pasal 246 KUHD,
asuransi adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang penanggung mengikatkan
diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan
penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa
yang tak tentu
Dalam Asuransi Konvensional
terjadi pengalihan risiko finansial (transfer of risk) dari satu pihak kepada
pihak lain.
Asuransi syariah = asuransi
Islami disebut Thadhamun ialah usaha
bisnis jasa keuangan dalam bentuk asuransi (saling menanggung) yang
aktivitasnya berdasarkan prinsip dan management sesuai syariah, baik dalam
bidang life (keluarga) maupun di bidang general (kerugian).
Kata lain dari tadhamun adalah
Takaful, atau ta’awun dalam pengertian yang lebih luas ialah mencakup ta’min
(tolong menolong) antar individu, keluarga, masyarakat dan negara baik moral
maupun material untuk dunia dan akhirat.
“Dan hendaklah kamu tolong
menolong untuk membuat kebajikan dan bertakwa dan janganlah kamu tolong
menolong dalam dosa dan permusuhan” (Q.S Al-Maidah 5:2). Hampir semua pakar perundangan
Islam mengharamkan asuransi konvensional, untuk itulah mereka memikirkan suatu
solusi dengan cara membuat usaha jasa keuangan seperti asuransi yang
berdasarkan nilai dan prinsip syariah. Kemudian mereka mensosialisasikan
dan bekerja sama dengan para pengusaha untuk mengaplikasikannya.
Dalam Asuransi syariah terjadi
pembagian risiko finansial (sharing of risk) diantara peserta dimana asuransi
berfungsi sebagai Pemegang Amanah dan Pooling of Fund.
Konsep asuransi syariat
berasaskan konsep takaful yang merupakan perpaduan rasa tanggung jawab dan
persaudaraan antara peserta. Kata takaful berasal dari bahasa Arab yang berakar dari
kata kafala-yakfulu. Ilmu tashrif atau sharaf memasukkan kata takaful kedalam
kelompok bina muta'adi yaitu tafaa'aala yang artinya saling menanggung atau
saling menjamin[1].
Untuk itu harus ada suatu persetujuan dari para peserta takaful untuk
memberikan sumbangan keuangan sebagai derma (tabarru) karena Allah semata
dengan niat membantu sesama peserta yang tertimpa musibah seperti : kematian,
bencana, dsb.
Prinsip asuransi syariah
diantaranya saling bertanggung jawab, sesuai dengan tuntunan Hadis‑Hadis
yang diriwayatkan oleh al‑Bukhari dan Muslim, sebagai berikut: “ Kedudukan
hubungan persaudaraan dan perasaan orang‑orang yang beriman antara satu dengan
lainnya seperti satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuhnya sakit, maka
seluruh anggota tubuh lainnya ikut merasakannya “ ( diriwayatkan oleh al‑Bukhari
dan Muslim ).
“Seorang mukmin dengan mukmin lainnya ibarat sebuah
bangunan yang tiap‑tiap bagiannya saling menguatkan bagian yang lain“.(diriwayatkan oleh al‑Bukhari dan Muslim).
Selanjutnya prinsip asuransi syariah yakni saling bekerjasama untuk bantu‑membantu,
sebagaimana yang diperintahkan Allah s.w.t. dalam Al Qur’an, dan Hadis
Rasulullah s.a.w. sebagaimana yang diriwayatkan oleh al‑Bukhari dan Muslim, dan
Abu Daud, sebagai berikut : Surat Al‑Maidah
ayat 2: "Dan tolong menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. “ barang
siapa yang memenuhi kebutuhan
saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya“.(diriwayatkan oleh al‑Bukhari dan Muslim dan Abu Daud ).
Prinsip lainnya yaitu saling lindung‑melindungi dari segala kesusahan,
sebagaimana yang diperintahkan Allah s.w.t. dalam Al Qur’an, dan Hadis
Rasulullah s.a.w. sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ahmad, dan Al‑Bazzar,
sebagai berikut : Surat Quraisy ayat 4. "Allah yang telah memberi
makan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari
ketakutan.
“Sesungguhnya seseorang yang beriman itu ialah barangsiapa
yang memberi keselamatan dan perlindungan terhadap harta dan jiwa‑raga manusia“. (diriwayatkan oleh Ibnu Majah). “Demi diriku yang dalam kekuasaan Allah bahwasanya tiada
seorangpun yang masuk syurga sebelum mereka memberi perlindungan kepada
tetangganya yang berada dalam kesempitan “. ( diriwayatkan oleh Ahmad ).
"Tidaklah beriman seseorang itu
selama ia dapat tidur nyenyak dengan perut kenyang sedangkan tetangganya
meratap karena kelaparan". (diriwayatkan oleh Al‑ Bazzaar).
Dengan demikian falsafah
asuransi syariat adalah penghayatan terhadap semangat saling bertanggung jawab,
kerjasama dan perlindungan dalam kegiatan‑kegiatan masyarakat, demi tercapainya
kesejahteraan umat dan masyarakat umumnya.
Saat ini, Indonesia
dikenal sebagai salah satu negara dengan jumlah operator asuransi syariah cukup
banyak di dunia. Berdasarkan data Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN MUI), terdapat 49 pemain asuransi syariah di Indonesia yang
telah mendapatkan rekomendasi syariah. Mereka terdiri dari 40 operator asuransi
syariah, tiga reasuransi syariah, dan enam broker asuransi dan reasuransi syariah.
Perkembangan industri asuransi syariah di negeri ini diawali dengan kelahiran
asuransi syariah pertama Indonesia pada 1994.[1]
Munculnya asuransi syariah pertama
kali di Indonesia tak lepas dari nama Asuransi Takaful, yang dibentuk oleh holding
company PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) pada 24 Februari 1994.
Terbentuknya Asuransi Takaful saat itu memperkuat keberadaan lembaga perbankan
syariah yang sudah ada terlebih dahulu, yakni Bank Muamalat karena asumsinya
Bank Muamalat juga membutuhkan lembaga asuransi yang dijalankan dengan prinsip
yang sama.
Pembentukan awal Takaful disponsori
oleh, Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, dan Asuransi Jiwa Tugu
Mandiri. Saat itu para wakil dari tiga lembaga ini membentuk Tim Pembentukan
Asuransi Takaful Indonesia atau TEPATI, yang dipimpin oleh Direktur Utama PT
STI Rahmat Husein. Sebagai langkah awal, lima orang
anggota TEPATI melakukan studi banding ke Malaysia pada September 1993.
Malaysia memang merupakan negara ASEAN pertama yang menerapkan asuransi dengan
prinsip syariah sejak tahun 1985. Di negara jiran ini, asuransi syariah
dikelola oleh Syarikat Takaful Malaysia Sdn. Bhd.
Setelah berbagai persiapan dilakukan,
di Jakarta digelar seminar nasional, dan berikutnya STI mendirikan PT Asuransi
Takaful Keluarga dan PT Asuransi Takaful Umum. Secara resmi, PT Asuransi
Takaful Keluarga yang bergerak di bidang asuransi jiwa syariah didirikan pada 4
Agustus 1994 dan mulai beroperasi pada 25 Agustus 1994, dengan modal disetor
sebesar Rp 5 miliar. Sementara PT Asuransi Takaful Umum secara resmi didirikan
pada 2 Juni 1995.[2] Setelah Asuransi Takaful dibuka,
berbagai perusahaan asuransi pun menyadari cukup besarnya potensi bisnis
asuransi syariah di Indonesia. Hal tersebut kemudian mendorong berbagai
perusahaan ramai-ramai masuk bisnis asuransi syariah, di antaranya dilakukan
dengan langsung mendirikan perusahaan asuransi syariah penuh maupun membuka
divisi atau cabang asuransi syariah.
Stretegi pengembangan bisnis asuransi syariah melalui pendirian perusahaan
dilakukan oleh Asuransi Syariah Mubarakah yang bergerak pada bisnis asuransi
jiwa syariah. Sedangkan strategi pengembangan bisnis melalui pembukaan divisi
atau cabang asuransi syariah dilakukan sebagian besar perusahaan asuransi,
antara lain PT MAA Life Assurance, PT MAA General Assurance, PT Great Eastern
Life Indonesia, PT Asuransi Tri Pakarta, PT AJB Bumiputera 1912, dan PT
Asuransi Jiwa BRIngin Life Sejahtera.
Bahkan, sejumlah pemain asuransi
besar dunia pun turut tertarik masuk dalam bisnis asuransi syariah di
Indonesia. Mereka menilai Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar
di dunia merupakan potensi pengembangan bisnis cukup besar yang tidak dapat
diabaikan. Di antara perusahaan asuransi global yang masuk dalam bisnis
asuransi syariah Indonesia adalah PT Asuransi Allianz Life Indonesia dan PT
Prudential Life Assurance.[3]
Kepemilikan mayoritas saham Syarikat
Takaful Indonesia saat ini dikuasai oleh Syarikat Takaful Malaysia Berhad
(56,00%) dan Islamic Development Bank (IDB, 26,39%), sedangkan selebihnya oleh
Permodalan Nasional Madani (PNM) dan Bank Muamalat Indonesia serta Karya Abdi
Bangsa dan lain-lain.
Di tahun 2004, Perusahaan melakukan
restrukturisasi yang berhasil menyatukan fungsi pemasaran Asuransi Takaful
Keluarga dan Asuransi Takaful Umum sehingga lebih efisien serta lebih efektif
dalam penetrasi pasar, juga diikuti dengan peresmian kantor pusat, Graha
Takaful Indonesia di Mampang Prapatan Jakarta pada Desember 2004. Selain itu,
dilakukan pula revitalisasi identitas korporasi termasuk penataan ruang kantor
cabang di seluruh Indonesia, untuk memperkuat citra perusahaan.
Untuk meningkatkan kualitas layanan
yang diberikan Perusahaan dan menjaga konsistensinya, Perusahaan memperoleh
Sertifikasi ISO 9001:2000 dari SGS JAS-ANZ, Selandia Baru bagi Asuransi Takaful
Umum, serta Asuransi Takaful Keluarga memperoleh Sertifikasi ISO 9001:2000 dari
dari Det Norske Veritas (DNV), Belanda pada April 2004. Selain itu, atas upaya
keras seluruh jajaran perusahaan, Asuransi Takaful Keluarga meraih MUI Award 2004
sebagai Asuransi Syariah Terbaik di Indonesia, dan Asuransi Takaful Umum
memperoleh penghargaan sebagai asuransi dengan predikat Sangat Bagus dari
Majalah Info Bank secara berturut-turut pada tahun 2004 dan 2005.[4]
Dengan dukungan Pemerintah dan tenaga
professional yang berkomitmen untuk mengembangkan asuransi syariah, Syarikat
Takaful Indonesia bertekad untuk menjadi perusahaan asuransi syariah terkemuka
di Indonesia. Konsep dan filosofi
asuransi syariah tidak terlepas dari firman Allah sbb: “Daud
berkata : “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu
untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari
orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh; dan amt sedikitlah mereka ini, dan Daud mengetahui bahwa Kami
mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan
beratubat.”(QS. Shaad Ayat 24).
Disamping itu ada perintah Allah
SWT untuk Saling Bertanggung Jawab dengan hadits-hadits sbb: "Kedudukan persaudaraan orang
yang beriman satu dengan yang lain ibarat satu tubuh, bilamana tubuh sakit, maka akan
dirasakan sakitnya oleh seluruh anggota tubuh lainnya” (HR. Bukhori Muslim). “Setiap mukmin dengan mukmin
lainnya dalam satu masyarakat ibarat seluruh bangunan, yang mana tiap bagian dalam bangunan
itu mengukuhkan bagian lainnya” (HR. Bukhori Muslim) “Setiap orang dari kamu,
adalah pemikul tanggung jawab dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap orang-orang
yang dibawah tanggung jawab kamu” (HR. Bukhori Muslim). Seseorang tidak boleh
dianggap beriman sehingga ia mengasihi saudaranya sebagaimana ia mengasihi
dirinya sendiri (HR. Bukhori).
Perintah untuk Saling Bekerjasama
dan bantu membantu terdapat dalam firman Allah dan hadits sbb: "Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan
haram, jangan mengganggu binatang hadya dan binatang-binatang qalaid, dan
jangan pula mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka
mencari karunia dan keridhoan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan jangan sekali-kali
kebencian kamu kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong
menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat Siksanya”. (QS. Al-Maidah Ayat 2) “Bukanlah
menghadapkan wajahmu kearah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan
itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta dan (membebaskan) hamba sahaya, mendirikan
sholat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah
orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah ayat 177) “Barang siapa memenuhi hajat
saudaranya, Allah akan memenuhi hajatnya”. HR.
Bukhori Muslim. “Allah senantiasa menolong
seorang hamba selagi hamba itu menolong saudaranya”. (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Perintah Allah saling melindungi
dalam keadaan susah: “Yang telah memberi makanan kepada
mereka untuk menghilangkan
lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”. (QS. Quraisy: 4) “Sesungguhnya orang yang
beriman ialah siapa yang memberikan keselamatan dan perlindungan terhadap harta dan jiwa
manusia”. (HR. Ibnu Majah).
"Demi diriku yang dalam
kekuasaan Allah, tidaklah masuk surga orang-orang yang tidak memberikan perlindungan
tetangganya yang dalam kesusahan”. (HR. Ahmad). "Tidaklah beriman seseorang,
kalau ia dapat tidur nyenyak dengan perut kenyang sedangkan tetangganya dalam keadaan
lapar.” (HR. Al-Bazzaar).
Adapun Hadits-Hadits Nabi Tentang
Prinsip Muamalah diantaranya: "Perdamaian dapat dilakukan
diantara muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”. (HR.
Tirmidzi dari Amr bin Auf).
Dari Abu Said Al-Khudri bahwa Rasul Saw bersabda, “Sesungguhnya jual-beli
itu harus dilakukan atas suka sama suka”. (HR. Al-Baihaqi & Ibnu Majah) “Tidak boleh membahayakan diri
sendiri, maupun orang lain”. (HR. Ibnu Majah, Daruqutni & lainnya). "Allah menolong hamba selama
hamba menolong saudaranya.” HR. Muslim.
Sedangkan kaidah-kaidah Fiqih
Tentang Muamalah diantaranya sbb: “Al-ashlu
filmuaamalatil ibahah illa ayyadulla daliilun ala tahrimiha.” (Pada
dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkan). “Dar-ulmafaasidi
muqoddamun alaa jalbil mashoolihi” ( Menghindarkan maqsadat (kerusakan/bahaya ) harus didahuluakan atas
mendatangkan kemaslahatan ). "ainama
mujilatil maslahatu fatsamma hukmullah” (Dimana terdapat kemaslahatan, disana terdapat hukum Allah). “Kullu
qardin manfatan fahuwa riba” (Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat bagi yang berpiutang, muqridh adalah
riba). “Ad-dhararu
yuzaala” (Bahaya/beban berat, kerugian harus dihilangkan)
|
Asuransi Syariah
|
Asuransi
Konvensional
|
1. Konsep
|
Sekumpulan orang yang saling bantu membantu, saling menjamin, dan bekerjasama
antara satu dengan yang lainnya, dengan cara masing-masing mengeluarkan dana
tabarru`
|
Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri
kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
pergantian kepada tertanggung.
|
2. Asal Usul
|
Dari Al-Aqilah, kebiasaan suku Arab jauh sebelum Islam datang. Kemudian disyahkan
oleh Rasulullah menjadi hukum Islam, bahkan telah tertuang dalam konstitusi
pertama di dunia (Konstitusi Madinah) yang dibuat langsung Rasulullah
|
Dari masyarakat Babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi.
Dan tahun 1668 M di Coffe House London berdirilah Lloyd of London sebagai
cikal bakal asuransi konvensional
|
3. Sumber Hukum
|
Bersumber dari wahyu Ilahi. Sumber hukum dalam syariah Islam
adalah Al-Qur`an, Sunnah atau kebiasaan Rasul, Ijma`, Fatwa Sahabat, Qiyas,
Istihsan, `Urf (tradisi), dan Mashalih Mursalah.
|
Bersumber dari pikiran manusia
dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif, hukum alami dan contoh sebelumnya
|
4. Maisir, Gharar dan Riba
|
Bersih dari adanya praktek
Gharar, Maisir, dan Riba
|
Tidak selaras dengan syariah Islam karena adanya Maisir, Gharar dan Riba; Hal yang
diharamkan dalam muamalah
|
5. Dewan Pengawas Syariah
|
Ada, yang berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar
terbebas dari praktek-praktek muamalah yang bertentang dengan prinsip-prinsip
syariah
|
Tidak ada, sehingga dalam banyak prakteknya bertentangan dengan kaidah-kaidah
syara`
|
6. Akad
|
Akad tabarru` dan akad tijarah (mudharabah, wakalah, wadiah, syirkah, mudharabah
mustarokah, dan sebagainya)
|
Akad jual beli (akad mu`awadah, akad idz`aan, akad gharar, dan akad mulzim)
|
7. Jaminan/Risk (Risiko)
|
Sharing of Risk, diman terjadi proses saling menanggung antara satu peserta
dengan peserta lainnya (ta`awun)
|
Transfer of Risk, dimana terjadi transfer resiko dari tertanggung kepada
penanggung
|
8. Pengeloaan Dana
|
Pada produk-produk saving (life) terjadi pemisahan dana, yaitu dana tabarru`
(derma) dan dana peserta, sehingga tidak mengenal istilah dana hangus.
Sedangkan untuk term insurance (life) dan general Insurance semuanya bersifat
tabarru`.
|
Tidak ada pemisahan dana, yang berakibat pada terjadinya dana hangus (untuk produk
saving – life).
|
9. Investasi
|
Dapat melakukan investasi sesuai ketentuan perundang-undangan, sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Bebas dari riba dan
tempat-tempat investasi yang terlarang
|
Bebas melakukan investasi dalam batas-batas ketentuan perundang-undangan, dan tidak
terbatasi pada halal dan haramnya obyek atau sistem investasi yang digunakan
|
10. Kepemilikan Dana
|
Dana yang terkumpul dari peserta dalam bentuk iuran atau kontribusi, merupakan
milik peserta (shohibul mal), asuransi syariah hanya sebagai pemegang amanah
(mudharib) dalam mengelola dana tersebut.
|
Dana yang terkumpul dari premi peserta seluruhnya menjadi milik perusahaan. Dan
perusahaan bebas menggunakan dan menginvestasikan kemana saja.
|
11. Unsur Premi
|
Iuran atau kontribusi terdiri dari unsur tabarru` dan tabungan (yang tidak mengandung
unsur riba). Tabarru` juga dihitung dari tabel mortalita, tetapi tanpa
perhitungan bunga tehnik.
|
Unsur premi terdiri dari : tabel mortalita (mortality tables), bunga (interest),
biaya-biaya asuransi (cost of insurance)
|
12. Loading
|
Pada sebagian asuransi syariah loading (komisi agen) tidak dibebankan pada peserta tapi
dari dana pemegang saham, tapi sebagian yang lainnya mengambilkan dari
sekitar 20-30 persen saja dari premi tahun pertama. Dengan demikian nilai
tunai tahun pertama sudah terbentuk
|
Loading pada asuransi konvensional cukup besar terutama diperuntukkan untuk
komisi agen, bisa menyerap premi tahun pertama dan kedua. Karena itu nilai
tunai pada tahun pertama dan kedua biasanya belum ada (masih hangus).
|
13. Sumber Pembayaran Klaim
|
Sumber pembayaran klaim diperoleh dari rekening tabarru`, dimana peserta saling
menanggung satu sama lainnya. Jika salah satu peserta mendapat musibah, maka
peserta lainnya ikut menanggung bersama resiko tersebut
|
Sumber biaya klaim adalah dari rekening perusahan, sebagai konsekwensi
penanggung terhadap tertanggung. Murni
bisnis dan tidak ada nuansa spiritual
|
14. Sistem Akuntansi
|
Menganut konsep akuntansi cash basis, mengakui apa yang benar-benar telah ada,
sedangkan accrual basis dianggap bertentang dengan syariah karena mengakui
adanya pendapatan, harta, beban atau hutang yang akan terjadi dimasa yang
akan datang. Sementara apakah itu benar-benar dapat terjadi hanya Allah yang
tahu.
|
Menganut konsep akuntansi accrual basis, yaitu proses akuntansi yang
mengakui terjadinya peristiwa atau keadaan non kas. Dan mengakui pendapatan,
peningkatan asset, expenses, liabilities dalam jumlah tertentu yang baru akan
diterima dalam waktu yang akan datang
|
15. Keuntungan (Profit)
|
Profit yang diperoleh dari surplus underwriting, komisi reasuransi, dan hasil
investasi, bukan seluruhnya menjadi milik perusahaan, tetapi dilakukan bagi
hasil (mudharabah) dengan peserta
|
Keuntungan yang diperoleh dari surplus
underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi seluruhnya adalah
merupakan keuntungan perusahaan.
|
16. Visi dan Misi
|
Misi yang diemban dalam asuransi syariah adalah : Misi aqidah, misi Ibadah
(ta`awun), misi Iqtishodi (ekonomi), dan misi pemberdayaan ummat (social)
|
Secara garis besar misi utama dari asuransi konvensional adalah misi ekonomi dan
misi social
|
Regulasi
Perasuransian Syariah mengacu kepada Fatwa DSN-MUI tentang Asuransi yang diantaranya terdapat dalam :
1. Fatwa No 21
tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah
2. Fatwa No 39
tentang Asuransi Haji
- Fatwa No 51 tentang Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syari’ah
- Fatwa No 52 tentang Akad Wakalah bil-Ujrah pada Asuransi dan
Reasuransi Syari’ah
- Fatwa No 53 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi dan Reasuransi Syari’ah.
Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 21/DSN-MUI/X/2001Tentang Pedoman
Umum Asuransi Syariah berisi sbb:
Pertama : Ketentuan Umum
- Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha
saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak
melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan
pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad
(perikatan) yang sesuai dengan syariah.
- Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah
yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm
(penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
- Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk
tujuan komersial.
- Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan
tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
- Premi adalah kewajiban peserta Asuransi untuk memberikan sejumlah
dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
- Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajib diberikan oleh
perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
Kedua: Akad dalam
Asuransi
- Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas
akad tijarah dan / atau akad tabarru'.
- Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah.
Sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.
- Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan :
a. hak &
kewajiban peserta dan perusahaan;
b. cara dan waktu
pembayaran premi;
c. jenis akad
tijarah dan / atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai
dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Ketiga: Kedudukan
Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’
- Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak
sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul
mal (pemegang polis);
- Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah
yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah.
Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.
Keempat :
Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru’
- Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru' bila
pihak yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga
menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.
- Jenis akad tabarru' tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.
Kelima : Jenis
Asuransi dan Akadnya
Dipandang dari
segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
Sedangkan akad
bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah.
Keenam : Premi
- Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis
akad tabarru'.
- Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat
menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan
tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan
unsur riba dalam penghitungannya.
- Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat
diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.
- Premi yang berasal dari jenis akad tabarru' dapat
diinvestasikan.
Ketujuh : Klaim
- Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal
perjanjian.
- Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang
dibayarkan.
- Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak
peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.
- Klaim atas akad tabarru', merupakan hak peserta dan
merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.
Kedelapan :
Investasi
- Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari
dana yang terkumpul.
- Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.
Kesembilan :
Reasuransi
Asuransi syariah
hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan
prinsip syari'ah.
Kesepuluh :
Pengelolaan
- Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga
yang berfungsi sebagai pemegang amanah.
- Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan
dana yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).
- Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan
dana akad tabarru’ (hibah).
Kesebelas :
Ketentuan Tambahan
- Implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi
oleh DPS.
- Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.
- Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. (Bersambung)
*Pernah bekerja di Takaful
Indonesia tahun 1999-2012 dan sekarang sebagai Dosen STEI Tazkia Bogor dan
Dewan Pengawas Syariah (DPS) PT Asyki Microtakaful Solution.