Minggu, 17 Januari 2016

ASURANSI SYARIAH / TAKAFUL (Bagian 1)


By Arijulmanan, M.H.I*
Pengertian asuransi selalu dikaitkan dengan risiko, sebagaimana pendapat para ahli seperti :
Robert I. Mehr dan Emerson Cammack, dalam bukunya Principles of Insurance menyatakan bahwa suatu pengalihan risiko (transfer of risk) disebut asuransi.
D.S. Hansell, dalam bukunya Elements of Insurance menyatakan bahwa asuransi selalu berkaitan dengan risiko (Insurance is to do with risk)

Berdasarkan pasal 246 KUHD, asuransi adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu
Dalam Asuransi Konvensional terjadi pengalihan risiko finansial (transfer of risk) dari satu pihak kepada pihak lain.
Asuransi syariah = asuransi Islami  disebut Thadhamun ialah usaha bisnis jasa keuangan dalam bentuk asuransi (saling menanggung) yang aktivitasnya berdasarkan prinsip dan management sesuai syariah, baik dalam bidang life (keluarga) maupun di bidang general (kerugian).

Kata lain dari tadhamun adalah Takaful, atau ta’awun dalam pengertian yang lebih luas ialah mencakup ta’min (tolong menolong) antar individu, keluarga, masyarakat dan negara baik moral maupun material untuk dunia dan akhirat.
“Dan hendaklah kamu tolong menolong untuk membuat kebajikan dan bertakwa dan janganlah kamu tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” (Q.S Al-Maidah 5:2). Hampir semua pakar perundangan Islam mengharamkan asuransi konvensional, untuk itulah mereka memikirkan suatu solusi dengan cara membuat usaha jasa keuangan seperti asuransi yang berdasarkan nilai dan prinsip syariah. Kemudian mereka mensosialisasikan dan bekerja sama dengan para pengusaha untuk mengaplikasikannya.
Dalam Asuransi syariah terjadi pembagian risiko finansial (sharing of risk) diantara peserta dimana asuransi berfungsi sebagai Pemegang Amanah dan Pooling of Fund.

Konsep asuransi syariat berasaskan konsep takaful yang merupakan perpaduan rasa tanggung jawab dan persaudaraan antara peserta. Kata takaful berasal dari bahasa Arab yang berakar dari kata kafala-yakfulu. Ilmu tashrif atau sharaf memasukkan kata takaful kedalam kelompok bina muta'adi yaitu tafaa'aala yang artinya saling menanggung atau saling menjamin[1]. Untuk itu harus ada suatu persetujuan dari para peserta takaful untuk memberikan sumbangan keuangan sebagai derma (tabarru) karena Allah semata dengan niat membantu sesama peserta yang tertimpa musibah seperti : kematian, bencana, dsb.

Prinsip asuransi syariah diantaranya saling bertanggung jawab, sesuai dengan tuntunan Hadis‑Hadis yang diriwayatkan oleh al‑Bukhari dan Muslim, sebagai berikut: “ Kedudukan hubungan persaudaraan dan perasaan orang‑orang yang beriman antara satu dengan lainnya seperti satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuh lainnya ikut merasakannya “ ( diriwayatkan oleh al‑Bukhari dan Muslim ).
“Seorang  mukmin dengan mukmin lainnya ibarat sebuah bangunan yang tiap‑tiap bagiannya saling menguatkan bagian yang lain“.(diriwayatkan oleh al‑Bukhari dan Muslim).

Selanjutnya prinsip asuransi syariah yakni saling bekerjasama untuk bantu‑membantu, sebagaimana yang diperintahkan Allah s.w.t. dalam Al Qur’an, dan Hadis Rasulullah s.a.w. sebagaimana yang diriwayatkan oleh al‑Bukhari dan Muslim, dan Abu Daud, sebagai berikut : Surat Al‑Maidah ayat 2:  "Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. “ barang siapa  yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya“.(diriwayatkan oleh al‑Bukhari dan Muslim dan Abu Daud ).

Prinsip lainnya yaitu saling lindung‑melindungi dari segala kesusahan, sebagaimana yang diperintahkan Allah s.w.t. dalam Al Qur’an, dan Hadis Rasulullah s.a.w. sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ahmad, dan Al‑Bazzar, sebagai berikut : Surat Quraisy ayat 4. "Allah  yang telah memberi makan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.

“Sesungguhnya  seseorang yang beriman itu ialah barangsiapa yang memberi keselamatan dan perlindungan terhadap harta dan jiwa‑raga manusia“. (diriwayatkan oleh Ibnu Majah). “Demi diriku  yang dalam kekuasaan Allah bahwasanya tiada seorangpun yang masuk syurga sebelum mereka memberi perlindungan kepada tetangganya yang berada dalam kesempitan “. ( diriwayatkan oleh Ahmad ).
"Tidaklah beriman seseorang itu selama ia dapat tidur nyenyak dengan perut kenyang sedangkan tetangganya meratap karena kelaparan". (diriwayatkan oleh Al‑ Bazzaar).

Dengan demikian falsafah asuransi syariat adalah penghayatan terhadap semangat saling bertanggung jawab, kerjasama dan perlindungan dalam kegiatan‑kegiatan masyarakat, demi tercapainya kesejahteraan umat dan masyarakat umumnya.

Saat ini, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan jumlah operator asuransi syariah cukup banyak di dunia. Berdasarkan data Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), terdapat 49 pemain asuransi syariah di Indonesia yang telah mendapatkan rekomendasi syariah. Mereka terdiri dari 40 operator asuransi syariah, tiga reasuransi syariah, dan enam broker asuransi dan reasuransi syariah. Perkembangan industri asuransi syariah di negeri ini diawali dengan kelahiran asuransi syariah pertama Indonesia pada 1994.[1]
Munculnya asuransi syariah pertama kali di Indonesia tak lepas dari nama Asuransi Takaful, yang dibentuk oleh holding company PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) pada 24 Februari 1994. Terbentuknya Asuransi Takaful saat itu memperkuat keberadaan lembaga perbankan syariah yang sudah ada terlebih dahulu, yakni Bank Muamalat karena asumsinya Bank Muamalat juga membutuhkan lembaga asuransi yang dijalankan dengan prinsip yang sama.

Pembentukan awal Takaful disponsori oleh, Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, dan Asuransi Jiwa Tugu Mandiri. Saat itu para wakil dari tiga lembaga ini membentuk Tim Pembentukan Asuransi Takaful Indonesia atau TEPATI, yang dipimpin oleh Direktur Utama PT STI Rahmat Husein. Sebagai langkah awal, lima orang anggota TEPATI melakukan studi banding ke Malaysia pada September 1993. Malaysia memang merupakan negara ASEAN pertama yang menerapkan asuransi dengan prinsip syariah sejak tahun 1985. Di negara jiran ini, asuransi syariah dikelola oleh Syarikat Takaful Malaysia Sdn. Bhd.
Setelah berbagai persiapan dilakukan, di Jakarta digelar seminar nasional, dan berikutnya STI mendirikan PT Asuransi Takaful Keluarga dan PT Asuransi Takaful Umum. Secara resmi, PT Asuransi Takaful Keluarga yang bergerak di bidang asuransi jiwa syariah didirikan pada 4 Agustus 1994 dan mulai beroperasi pada 25 Agustus 1994, dengan modal disetor sebesar Rp 5 miliar. Sementara PT Asuransi Takaful Umum secara resmi didirikan pada 2 Juni 1995.[2] Setelah Asuransi Takaful dibuka, berbagai perusahaan asuransi pun menyadari cukup besarnya potensi bisnis asuransi syariah di Indonesia. Hal tersebut kemudian mendorong berbagai perusahaan ramai-ramai masuk bisnis asuransi syariah, di antaranya dilakukan dengan langsung mendirikan perusahaan asuransi syariah penuh maupun membuka divisi atau cabang asuransi syariah.
Stretegi pengembangan bisnis asuransi syariah melalui pendirian perusahaan dilakukan oleh Asuransi Syariah Mubarakah yang bergerak pada bisnis asuransi jiwa syariah. Sedangkan strategi pengembangan bisnis melalui pembukaan divisi atau cabang asuransi syariah dilakukan sebagian besar perusahaan asuransi, antara lain PT MAA Life Assurance, PT MAA General Assurance, PT Great Eastern Life Indonesia, PT Asuransi Tri Pakarta, PT AJB Bumiputera 1912, dan PT Asuransi Jiwa BRIngin Life Sejahtera.

Bahkan, sejumlah pemain asuransi besar dunia pun turut tertarik masuk dalam bisnis asuransi syariah di Indonesia. Mereka menilai Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia merupakan potensi pengembangan bisnis cukup besar yang tidak dapat diabaikan. Di antara perusahaan asuransi global yang masuk dalam bisnis asuransi syariah Indonesia adalah PT Asuransi Allianz Life Indonesia dan PT Prudential Life Assurance.[3]

Kepemilikan mayoritas saham Syarikat Takaful Indonesia saat ini dikuasai oleh Syarikat Takaful Malaysia Berhad (56,00%) dan Islamic Development Bank (IDB, 26,39%), sedangkan selebihnya oleh Permodalan Nasional Madani (PNM) dan Bank Muamalat Indonesia serta Karya Abdi Bangsa dan lain-lain.
Di tahun 2004, Perusahaan melakukan restrukturisasi yang berhasil menyatukan fungsi pemasaran Asuransi Takaful Keluarga dan Asuransi Takaful Umum sehingga lebih efisien serta lebih efektif dalam penetrasi pasar, juga diikuti dengan peresmian kantor pusat, Graha Takaful Indonesia di Mampang Prapatan Jakarta pada Desember 2004. Selain itu, dilakukan pula revitalisasi identitas korporasi termasuk penataan ruang kantor cabang di seluruh Indonesia, untuk memperkuat citra perusahaan.

Untuk meningkatkan kualitas layanan yang diberikan Perusahaan dan menjaga konsistensinya, Perusahaan memperoleh Sertifikasi ISO 9001:2000 dari SGS JAS-ANZ, Selandia Baru bagi Asuransi Takaful Umum, serta Asuransi Takaful Keluarga memperoleh Sertifikasi ISO 9001:2000 dari dari Det Norske Veritas (DNV), Belanda pada April 2004. Selain itu, atas upaya keras seluruh jajaran perusahaan, Asuransi Takaful Keluarga meraih MUI Award 2004 sebagai Asuransi Syariah Terbaik di Indonesia, dan Asuransi Takaful Umum memperoleh penghargaan sebagai asuransi dengan predikat Sangat Bagus dari Majalah Info Bank secara berturut-turut pada tahun 2004 dan 2005.[4]

Dengan dukungan Pemerintah dan tenaga professional yang berkomitmen untuk mengembangkan asuransi syariah, Syarikat Takaful Indonesia bertekad untuk menjadi perusahaan asuransi syariah terkemuka di Indonesia. Konsep dan filosofi asuransi syariah tidak terlepas dari firman Allah sbb: “Daud berkata : “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; dan amt sedikitlah mereka ini, dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan beratubat.”(QS. Shaad Ayat 24).

Disamping itu ada perintah Allah SWT untuk Saling Bertanggung Jawab dengan hadits-hadits sbb: "Kedudukan persaudaraan orang yang beriman satu dengan yang lain ibarat satu tubuh, bilamana tubuh sakit, maka akan dirasakan sakitnya oleh seluruh anggota tubuh lainnya” (HR. Bukhori Muslim). Setiap mukmin dengan mukmin lainnya dalam satu masyarakat ibarat seluruh bangunan, yang mana tiap bagian dalam bangunan itu mengukuhkan bagian lainnya” (HR. Bukhori Muslim) Setiap orang dari kamu, adalah pemikul tanggung jawab dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap orang-orang yang dibawah tanggung jawab kamu” (HR. Bukhori Muslim). Seseorang tidak boleh dianggap beriman sehingga ia mengasihi saudaranya sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri (HR. Bukhori). 

Perintah untuk Saling Bekerjasama dan bantu membantu terdapat dalam firman Allah dan hadits sbb: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan mengganggu binatang hadya dan binatang-binatang qalaid, dan jangan pula mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridhoan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan jangan sekali-kali kebencian kamu kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat Siksanya”. (QS. Al-Maidah Ayat 2) Bukanlah menghadapkan wajahmu kearah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta dan (membebaskan) hamba sahaya, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah ayat 177) Barang siapa memenuhi hajat saudaranya, Allah akan memenuhi hajatnya”. HR. Bukhori Muslim. Allah senantiasa menolong seorang hamba selagi hamba itu menolong saudaranya”. (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Perintah Allah saling melindungi dalam keadaan susah: Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”. (QS. Quraisy: 4) Sesungguhnya orang yang beriman ialah siapa yang memberikan keselamatan dan perlindungan terhadap harta dan jiwa manusia”. (HR. Ibnu Majah).

"Demi diriku yang dalam kekuasaan Allah, tidaklah masuk surga orang-orang yang tidak memberikan perlindungan tetangganya yang dalam kesusahan”. (HR. Ahmad). "Tidaklah beriman seseorang, kalau ia dapat tidur nyenyak dengan perut kenyang sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar.” (HR. Al-Bazzaar).

Adapun Hadits-Hadits Nabi Tentang Prinsip Muamalah diantaranya: "Perdamaian dapat dilakukan diantara muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”. (HR. Tirmidzi dari Amr bin Auf).
Dari Abu Said Al-Khudri bahwa Rasul Saw bersabda, “Sesungguhnya jual-beli itu harus dilakukan atas suka sama suka”. (HR. Al-Baihaqi & Ibnu Majah) Tidak boleh membahayakan diri sendiri, maupun orang lain”. (HR. Ibnu Majah, Daruqutni & lainnya). "Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya.” HR. Muslim.

Sedangkan kaidah-kaidah Fiqih Tentang Muamalah diantaranya sbb: Al-ashlu filmuaamalatil ibahah illa ayyadulla daliilun ala tahrimiha.” (Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan). Dar-ulmafaasidi muqoddamun alaa jalbil mashoolihi” ( Menghindarkan maqsadat (kerusakan/bahaya ) harus didahuluakan atas mendatangkan kemaslahatan ). "ainama mujilatil maslahatu fatsamma hukmullah” (Dimana terdapat kemaslahatan, disana terdapat hukum Allah). Kullu qardin manfatan fahuwa riba”  (Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat bagi yang berpiutang, muqridh adalah riba). Ad-dhararu yuzaala” (Bahaya/beban berat, kerugian harus dihilangkan)

Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional :


Asuransi Syariah
Asuransi Konvensional
1. Konsep
Sekumpulan orang yang saling bantu membantu, saling menjamin, dan bekerjasama antara satu dengan yang lainnya, dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru`

Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan pergantian kepada tertanggung.
2. Asal Usul
Dari Al-Aqilah, kebiasaan suku Arab jauh sebelum Islam datang. Kemudian disyahkan oleh Rasulullah menjadi hukum Islam, bahkan telah tertuang dalam konstitusi pertama di dunia (Konstitusi Madinah) yang dibuat langsung Rasulullah
Dari masyarakat Babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Dan tahun 1668 M di Coffe House London berdirilah Lloyd of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional
3. Sumber Hukum
Bersumber dari wahyu Ilahi. Sumber hukum dalam syariah Islam adalah Al-Qur`an, Sunnah atau kebiasaan Rasul, Ijma`, Fatwa Sahabat, Qiyas, Istihsan, `Urf (tradisi), dan Mashalih Mursalah.
Bersumber dari pikiran manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif, hukum alami dan contoh sebelumnya

4. Maisir, Gharar dan Riba
Bersih dari adanya praktek Gharar, Maisir, dan Riba

Tidak selaras dengan syariah Islam karena adanya Maisir, Gharar dan Riba; Hal yang diharamkan dalam muamalah

5. Dewan Pengawas Syariah
Ada, yang berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar terbebas dari praktek-praktek muamalah yang bertentang dengan prinsip-prinsip syariah
Tidak ada, sehingga dalam banyak prakteknya bertentangan dengan kaidah-kaidah syara`

6. Akad
Akad tabarru` dan akad tijarah (mudharabah, wakalah, wadiah, syirkah, mudharabah mustarokah, dan sebagainya)
Akad jual beli (akad mu`awadah, akad idz`aan, akad gharar, dan akad mulzim)
7. Jaminan/Risk (Risiko)
Sharing of Risk, diman terjadi proses saling menanggung antara satu peserta dengan peserta lainnya (ta`awun)
Transfer of Risk, dimana terjadi transfer resiko dari tertanggung kepada penanggung
8. Pengeloaan Dana
Pada produk-produk saving (life) terjadi pemisahan dana, yaitu dana tabarru` (derma) dan dana peserta, sehingga tidak mengenal istilah dana hangus. Sedangkan untuk term insurance (life) dan general Insurance semuanya bersifat tabarru`.
Tidak ada pemisahan dana, yang berakibat pada terjadinya dana hangus (untuk produk saving – life).

9. Investasi
Dapat melakukan investasi sesuai ketentuan perundang-undangan, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Bebas dari riba dan tempat-tempat investasi yang terlarang
Bebas melakukan investasi dalam batas-batas ketentuan perundang-undangan, dan tidak terbatasi pada halal dan haramnya obyek atau sistem investasi yang digunakan
10. Kepemilikan Dana
Dana yang terkumpul dari peserta dalam bentuk iuran atau kontribusi, merupakan milik peserta (shohibul mal), asuransi syariah hanya sebagai pemegang amanah (mudharib) dalam mengelola dana tersebut.

Dana yang terkumpul dari premi peserta seluruhnya menjadi milik perusahaan. Dan perusahaan bebas menggunakan dan menginvestasikan kemana saja.

11. Unsur Premi
Iuran atau kontribusi terdiri dari unsur tabarru` dan tabungan (yang tidak mengandung unsur riba). Tabarru` juga dihitung dari tabel mortalita, tetapi tanpa perhitungan bunga tehnik.

Unsur premi terdiri dari : tabel mortalita (mortality tables), bunga (interest), biaya-biaya asuransi (cost of insurance)

12. Loading
Pada sebagian asuransi syariah loading (komisi agen) tidak dibebankan pada peserta tapi dari dana pemegang saham, tapi sebagian yang lainnya mengambilkan dari sekitar 20-30 persen saja dari premi tahun pertama. Dengan demikian nilai tunai tahun pertama sudah terbentuk
Loading pada asuransi konvensional cukup besar terutama diperuntukkan untuk komisi agen, bisa menyerap premi tahun pertama dan kedua. Karena itu nilai tunai pada tahun pertama dan kedua biasanya belum ada (masih hangus).

13. Sumber Pembayaran Klaim
Sumber pembayaran klaim diperoleh dari rekening tabarru`, dimana peserta saling menanggung satu sama lainnya. Jika salah satu peserta mendapat musibah, maka peserta lainnya ikut menanggung bersama resiko tersebut
Sumber biaya klaim adalah dari rekening perusahan, sebagai konsekwensi penanggung  terhadap tertanggung. Murni bisnis dan tidak ada nuansa spiritual

14. Sistem Akuntansi
Menganut konsep akuntansi cash basis, mengakui apa yang benar-benar telah ada, sedangkan accrual basis dianggap bertentang dengan syariah karena mengakui adanya pendapatan, harta, beban atau hutang yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Sementara apakah itu benar-benar dapat terjadi hanya Allah yang tahu.
Menganut konsep akuntansi accrual basis, yaitu proses akuntansi yang mengakui terjadinya peristiwa atau keadaan non kas. Dan mengakui pendapatan, peningkatan asset, expenses, liabilities dalam jumlah tertentu yang baru akan diterima dalam waktu yang akan datang

15. Keuntungan (Profit)
Profit yang diperoleh dari surplus underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi, bukan seluruhnya menjadi milik perusahaan, tetapi dilakukan bagi hasil (mudharabah) dengan peserta
Keuntungan yang diperoleh dari surplus  underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi seluruhnya adalah merupakan keuntungan perusahaan.

16. Visi dan Misi
Misi yang diemban dalam asuransi syariah adalah : Misi aqidah, misi Ibadah (ta`awun), misi Iqtishodi (ekonomi), dan misi pemberdayaan ummat (social)
Secara garis besar misi utama dari asuransi konvensional adalah misi ekonomi dan misi social


Regulasi Perasuransian Syariah mengacu kepada Fatwa DSN-MUI tentang Asuransi yang diantaranya terdapat dalam :
1.      Fatwa No 21 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah
2.      Fatwa No 39 tentang  Asuransi Haji
  1. Fatwa No 51 tentang Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syari’ah
  2. Fatwa No 52 tentang Akad Wakalah bil-Ujrah pada Asuransi dan Reasuransi Syari’ah
  3. Fatwa No 53 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi dan Reasuransi Syari’ah.
Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 21/DSN-MUI/X/2001Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah berisi sbb:
Pertama : Ketentuan Umum
  1. Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
  2. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
  3. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.
  4. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
  5. Premi adalah kewajiban peserta Asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
  6. Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

Kedua: Akad dalam Asuransi

  1. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan / atau akad tabarru'.
  2. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.
  3. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan :
a. hak & kewajiban peserta dan perusahaan;
b. cara dan waktu pembayaran premi;
c. jenis akad tijarah dan / atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.

Ketiga: Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’

  1. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis);
  2. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.

Keempat : Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru’

  1. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru' bila pihak yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.
  2. Jenis akad tabarru' tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.

Kelima : Jenis Asuransi dan Akadnya

Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah.

Keenam : Premi

  1. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru'.
  2. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam penghitungannya.
  3. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.
  4. Premi yang berasal dari jenis akad tabarru' dapat diinvestasikan.

Ketujuh : Klaim

  1. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
  2. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.
  3. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.
  4. Klaim atas akad tabarru', merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.

Kedelapan : Investasi

  1. Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul.
  2. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.

Kesembilan : Reasuransi

Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip syari'ah. 

Kesepuluh : Pengelolaan

  1. Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah.
  2. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).
  3. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad tabarru’ (hibah).

Kesebelas : Ketentuan Tambahan

  1. Implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh DPS.
  2. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  3. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. (Bersambung)

*Pernah bekerja di Takaful Indonesia tahun 1999-2012 dan sekarang sebagai Dosen STEI Tazkia Bogor dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) PT Asyki Microtakaful Solution.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar