Dalam
teologi (akidah) Islam, para penganutnya wajib memiliki keimanan yang kuat
dalam hatinya, mengucapkannya dengan lisan dan mempraktikkanya dengan anggota
badan. Menurut sebagian Ulama kalam (Ahli Tauhid), keimanan tidak cukup hanya dengan
taqlid (mengikuti keimanan orang lain), walau pun pada akhirnya pendapat ini
disanggah oleh ulama yang lain, sebab bilamana keimanan seorang dengan cara
taqlid itu dianggap tidak cukup maka menyebabkan pengkafiran (takfir) kebanyakan
orang-orang awam yang tidak bisa mengetahui dalil-dalil akidah-akidah Islam
yang wajib diketahui.
Syaikhul
Islam Syeikh Ibrahim Al-Baijuri dalam kitabnya Kifayatul Awwam yang juga
disyarahi oleh Syeikh Nawawi Al-Bantany menuturkan: Bagi setiap muslim wajib
mengetahui akidah lima puluh (akidah tentang sifat wajib, mustahil jaiz bagi
Allah dan akidah tentang sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Rasul Allah),
serta wajib mengetahui dalil-dalilnya secara global ataupun secara perinci/tafshili.
Semisal
orang bertanya kepada Zaid, apa bukti atau dalil tentang adanya Allah SWT?,
kemudian Zaid menjawab bukti atau dalil (argumntasi) keberadaan (wujud) Allah
adalah adanya makhluk ini dari jihah (segi) dengan mengetahui adanya
makhluk setelah tidak adanya makhluk. Nah jawaban diatas menunjukkan bahwa si Zaid dikatakan telah mengetahui dalil adanya Allah SWT dengan dalil tafshili atau dalil perinci (detail).
Sedangkan bilamana Zaid hanya menjawab bukti adany Allah SWT adalah adanya
makhluk, tanpa panjang lebar menyebutkan dengan perinci, maka dalil yang
dikemukan Zaid tersebut adalah dalil ijmali (dalil secara global).
Sedangkan mengetahui Allah dengan berdasarkan dalil-dalil ijmali (secara
global) menurut Jumhurul Ulama yang dikutip oleh Syaikhul Islam Syeikh Ibrahim Al-Baijuri
dianggap cukup.
Kita
patut bersyukur kepada Allah SWT, dimana Allah telah menempatkan kita di bumi
yang mayoritas penganut agama Islam meski keimanan kita temurun dari nenek moyang kita, tetapi kita boleh berhenti pada status keislamanan kita tanpa berusaha mencari dalil untuk menguatkan keimanan kita. Bukan merupakan
kebetulan, Allah menjadikan kita sebagai orang yang beriman, percaya kepada
rukun-rukun iman yang enam (Iman kepada Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, Hari
Kiamat, dan Qada’ dan Qadar).
Keimanan dan keislaman kita harus lebih ditingkatkan, mencari iman dan islam sebenarnya, menyakini adanya Allah dengan disertai mencari tau bukti-bukti adanya Allah dengan dalil-dalil global ataupun dalil yang princi. Dalam keimanan kita menyakini bahwa Allah SWT itu ada, Allah tidak menyerupai dengan makhluk ciptaannya dalam segala hal, Allah berdiri dengan dzatnya sendiri tanpa ada yang membantu, Allah tidak butuh bantuan makhluknya. Ketika kita ditanya benda (rumah) itu ada karena memang wujud nyata, dapat dirasakan, dapat diukur, dan dapat dipanca indara, dan atau dalam bahasa keilmuan logis, empiris sehingga dengan bentuk yang nyata kita menyakini barang itu karena ada yang membangunnya. Beda halnya kalau kita bicara terhadap sifat Allah, Allah itu ada dan tidak sama dengan makhluknya atau tidak menyerupai makhluknya sesuai dalam firmannya: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ " Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Asy-Syuura: 11). KH Ahmad Nawawi bin Abdul Jalil, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan dalam bukunya “Di Manakah Allah? Bunga Rampai Dialog Iman-Ihsan mengatakan: Sebenarnya hakikat dari Dzat Allah SWT itu wajib bersifat Mukhalafah Lil Hawadits, yang berarti Dzat Allah SWT tidak menyamai kepada Hawadits/Sesuatu yang baru (Makhluk). Jadi Dzat Allah SWT tidak bisa diketahui dengan secara hakikat, apalagi dilihat. Begitu juga sifat-sifat-Nya tidak bisa diketahui secara hakikatnya. Seperti kita mengetahui bahwa Allah SWT adalah Wujud dan Maha Mengetahui, tapi mengenai hakikat Wujud dan ilmu-Nya tidak bisa ketahui. Sebab, hakikat wujud dan ilmu-Nya tidak sama dengan hakikat wujud dan ilmu yang lain. Beda dengan wujudnya Manusia, kita bisa mengetahui bahwa wujudnya Zaid dari nuthfah (sperma) yang diproses dalam rahim ibunya, lalu dilahirkan berupa bayi. Jadi, wujudnya mulai dari lahir dan seterusnya dapat kita ketahui. Ada cerita bahwa Nabi Musa pernah melihat Nur Allah SWT, lalu beliau pingsan, tidak kuat melihat kepada Nur Allah SWT, apalagi kepada Dzat-Nya.
Keimanan dan keislaman kita harus lebih ditingkatkan, mencari iman dan islam sebenarnya, menyakini adanya Allah dengan disertai mencari tau bukti-bukti adanya Allah dengan dalil-dalil global ataupun dalil yang princi. Dalam keimanan kita menyakini bahwa Allah SWT itu ada, Allah tidak menyerupai dengan makhluk ciptaannya dalam segala hal, Allah berdiri dengan dzatnya sendiri tanpa ada yang membantu, Allah tidak butuh bantuan makhluknya. Ketika kita ditanya benda (rumah) itu ada karena memang wujud nyata, dapat dirasakan, dapat diukur, dan dapat dipanca indara, dan atau dalam bahasa keilmuan logis, empiris sehingga dengan bentuk yang nyata kita menyakini barang itu karena ada yang membangunnya. Beda halnya kalau kita bicara terhadap sifat Allah, Allah itu ada dan tidak sama dengan makhluknya atau tidak menyerupai makhluknya sesuai dalam firmannya: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ " Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Asy-Syuura: 11). KH Ahmad Nawawi bin Abdul Jalil, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan dalam bukunya “Di Manakah Allah? Bunga Rampai Dialog Iman-Ihsan mengatakan: Sebenarnya hakikat dari Dzat Allah SWT itu wajib bersifat Mukhalafah Lil Hawadits, yang berarti Dzat Allah SWT tidak menyamai kepada Hawadits/Sesuatu yang baru (Makhluk). Jadi Dzat Allah SWT tidak bisa diketahui dengan secara hakikat, apalagi dilihat. Begitu juga sifat-sifat-Nya tidak bisa diketahui secara hakikatnya. Seperti kita mengetahui bahwa Allah SWT adalah Wujud dan Maha Mengetahui, tapi mengenai hakikat Wujud dan ilmu-Nya tidak bisa ketahui. Sebab, hakikat wujud dan ilmu-Nya tidak sama dengan hakikat wujud dan ilmu yang lain. Beda dengan wujudnya Manusia, kita bisa mengetahui bahwa wujudnya Zaid dari nuthfah (sperma) yang diproses dalam rahim ibunya, lalu dilahirkan berupa bayi. Jadi, wujudnya mulai dari lahir dan seterusnya dapat kita ketahui. Ada cerita bahwa Nabi Musa pernah melihat Nur Allah SWT, lalu beliau pingsan, tidak kuat melihat kepada Nur Allah SWT, apalagi kepada Dzat-Nya.
Mengenai
keimanan Rasulullah SAW dalam salah satu hadisnya yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam kitab Shohih Muslim, Beliau bersabda: Telah merasakan
keimanan dialah seorang yang telah ridha dengan Allah, dengan Islam jadi
agamanya, dan dengan Nabi Muhammad sebagai rasul/utusan dari Allah. Imam
Syarafuddin An-Nawawi atau yang dikenal dengan sebutan Imam Nawawi menukil
penjelasan dari pengarang kitab At-Tahrir : Saya ridho atau rela kepada
sesuatu maka saya qona’ah (menerima dengan lapang dada), menganggap cukup
dengannya, tidak meminta selainnya. Maka makna hadist diatas adalah tidak
meminta kepada selain Allah, tidak berjalan diselain syariat Allah, dan tidak
menempuh kecuali yang selaras dengan syariat Nabi Muhammad SAW, maka tidak
dapat diragukan lagi barang siapa yang didalam hatinya terdapat cirri-ciri ini
niscaya kenikmataan iman telah bersemanyam didalam hatinya dan merasakan
nikmatnya iman.
Setelah
menjadi seseorang beriman dan berislam maka wajib menjaga keislamannya dari
hal-hal yang dapat merusak aqidah keimanannya. Dalam kitab Sullamut Taufiq karya Syeikh Abdullah bin Al-Husein Ba Alawy yang disyarahi oleh Syeikh
Muhammad Nawawi Al-Bantany disebutkan: Bagi setiap orang mukallaf wajib memeluk
agama Islam, mengabadikannya terus menerus, menerima hukum-hukum syariat yang
ditetapkan padanya. Kemudian beliau melanjutkan dalam fasal setelahnya: Setiap
orang Islam wajib menjaga Islamnya dari hal-hal yang merusaknya, membatalkannya
dan memutuskanya yaitu menjaga dari kemurtadan (keluar dari Islam).
Oleh: Rohmatullah Adny Asymuni
Kader HMI Cabang Bogor, Komisariat Tazkia.
Kader HMI Cabang Bogor, Komisariat Tazkia.