Malam
ini kembali saya didaulat menjadi fasilitator dalam kajian rutin komisariat.
Kali ini membahas tema “rapat dan sidang serta urgensinya dalam budaya
organisasi.”
Suasana
yang menggembirakan, lain dari sesi sebelumnya, hari ini banyak sekali
kawan-kawan yang hadir dan berpartisipasi. Artinya, akan banyak kader yang menularkan
semangat intelektual di tatanan kampus. Itu hanya asumsi sekaligus harapan.
Namun pada akhirnya tetap kembali pada pijakan adagium, “stop berbicara
kuantitas jika itu bisa dikalahkan dengan dominasi kualitas.”
Saya
mengawali kajian ini dengan memulai pemahaman, pentingnya sebuah rapat dalam budaya oragnisasi. Manusia
sebagai makhluk sosial, tentu akan sangat rentan berhadapan dengan kepentingan
sosial. Nah disini peran ego pribadi harus diperkecil agar tidak terlihat menggagahi
kepentingan yang lain. Sehingga diperlukan wadah untuk menampung kepentingan
sehingga menemukan titik temu yang sejalan dengan kepuasan masing masing
individu, tidak ada yang merasa dirugikan ataupun dikucilkan.
Dalam
setiap agenda kajian yang paling kusenangi adalah sesi jamuannya. Yah,
beruntung kami besar dan tumbuh dengan budaya komisariat yang hidup dengan dana
patungan (udunan). Sehingga tidak ada yang merasa terkorbankan, setiap kader
merasa memiliki organisasi.
Disini
sebuah kesimpulan terlahir, jangan jangan polemik sepinya budaya perkaderan
saat ini disebabkan karena tidak adanya pengorbanan materi dari para kader
sehingga berujung pada hilangnya rasa memiliki (sense of belonging). Terlalu
manja dengan mengandalkan dana-dana dari para kanda. Ya, itu saya rasa poin
yang pas.
Sela-sela
diskusi santai kami masih menyempatkan untuk menikmati hidangan hasil patungan
kami. Gorengan memang cemilan primadona yang sering kami beli dalam acara kajian.
Ditemai sosok minuman yang tidak asing lagi bagi kalangan aktivis, apalagi kalo
bukan kopi.
Walaupun
mulut sibuk menyruout kopi dan mengunyah gorengan, tidak mengurungkan
kawan-kawan untuk melontarkan ide dan gagasan sebagai partisipasi dalam kajian.
Berhubung
tema nya adalah sidang, maka langsung saja simulasi praktek harian dengan tema
yang tidak dibuat-buat, yakni pemilihan ketua panitia Rapat Anggota Komisariat,
dan wacana gerakan HMI ke depannya.
Setelah
melalui musyawarah yang cukup alot nan dinamis, akhirnya terpilihlah Hamid
sebagai ketua panitia dengan Zaenal dan Hasnul sebagai rekannya. Dalam rapat
penetapan ini, terlihat cukup menegangkan ketika pembahasan mulai mengaitkan
pada “waktu”. Yah, disinilah kepentingan itu bermain.
Setiap
kader tentu akan mencari waktu yang tidak mengganggu jadwal mereka, sehingga
pada bagian ini cukup memakan waktu. Inilah miniatur dari arena “Adu
Kepentingan”. Siapa yang bisa meyakinkan bahwa kepentingan yang dia utarakan
memang benar-benar penting, maka dialah yang akan menjadi pemenang dalam
pertarungan tersebut.
Keputusan
pun disepakati bahwa RAK diadakan hari senin, 23 Maret 2015. Hal ini
berdasarkan kesepaktan kawan-kawan. Karena dirasa hari itulah, hari yang pas
untuk mengumpulkan kawan-kawan dalam satu kepentingan. Yah, hari bertemunya
kepentingan para kader.
Berlanjut
ke agenda kedua, yakni wacana gerakan HMI di kampus ke depannya. Di sesi ini,
seluruh ide nan segar keluar bagai matar air yang memancarderas. Hampir setiap
kawan-kawan punya pandangan tersendiri dalam merumuskan gerakan HMI ini.
Mulai
dari wacana untuk menetaskan HMI ke gelanggang politik kampus dengan dalih
sudah sudah saatnya HMI menyebarkan budaya organisasi lewat struktural. Karena
dirasa HMI sudah cukup bermain di ranah kultural akademis. Ada juga yang
mengajak untuk menghidupkan budaya nongkrong, futsal, ataupun naik gunung guna
merekatkan kedekatan persaudaraan. Sehingga kalimat “Di HMI kita berteman lebih
dari saudara” bukan hanya sekedar jargon penyemarak saja, tapi memang benar
begitu adanya.
Selain
itu, muncul juga selentingan agar HMI membuat budaya diskusi menjadi lebih
santai, sambil nongkorng di warkop, agar pikiran-pikiran segar, tidak terjebak
dalam formalitas. Pikiran akan lebih lentur jika dalam suasana santai #Ceunah.
Tiga
hal yang menjadi poin inti gerakan HMI kedepannya, yakni budaya akademis, budaya
nongkrong, dna struktural kampus (sebagai alat untuk syiar HMI lewat kader). Inilah
yang menjadi kerangka model dalam merumuskan gerakan HMI komisariat tazkia
selanjutnya.
Agenda
perkaderan harus terus berlanjut. Melihat semangat kawan-kawan angkatan 12 dan
13, kami yakin bahwa HMI kedepannya akan lebih lentur dan mengalir bersama
budaya mahasiswa.
Ikut
mengambil peran dalam tiap agenda kampus dengan kemampuan intelektual sebagai
basis gerakannya. Mudah-mudahan ke depannya, kita mempunyai rasa
kepemilikan yang utuh terhadap organisasi ini. Berhimpun bersama, berkembang
bersama, dan berkarya bersama.
Joni Iskandar
MPKPK HMI Cabang Bogor
Komisariat Tazkia