Masalah manusia dan kemanusiaan
merupakan permasalahan yang selalu menjadi pembicaraan yang hangat di kalangan
sebagian orang. Betapa tidak, hingga kini manusia tak dapat mendefinisikan apa
itu manusia. Sutan Takdir Alisjahbana pernah mengatakan manusia tak dapat
didefinisikan dengan kata apa pun. Bila manusia didefinisikan, maka telah
mereduksi arti manusia itu sendiri.
Maka,
bila kita menanyakan apa itu manusia, biarlah tak terjawab. Mengapa? Karena
manusia adalah manusia. Seperti itulah bila kita ingin mengetahui manusia.
Manusia hidup dalam ruang dan waktu, membentuk suatu perkumpulan, berawal dari
bentuk keluarga, hingga menjadi suatu masyarakat. Masyarakat membentuk
peraturan, membentuk adat dan kebiasaan. Adat dalam bahasa arab berarti
pengulangan, sehingga perbuatan atau aturan tersebut sering dilakukan dan
berlaku berulang sehingga menjadi kebiasaan masyarakat.
Dalam
kacamata keilmuan, dikenal adanya bidang ilmu yang disebut antropologi. Dapat
kita mengenal bahwa secara bahasa, anthropos berarti manusia. Antropologi
adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari manusia dan kemanusiaan. Akan tetapi,
mustahil mendefinisikan apa itu manusia. Maka, antropologi mempelajari manusia
dalam suatu wilayah baik berdasarkan sukunya atau komunitasnya.
Apakah
dengan adanya ilmu antropologi tersebut, maka kita mengetahui apa itu manusia?
Jawabannya adalah tidak. Kita dapat mengenal bahwa meskipun dengan antropologi,
dengan manfaatnya dapat mengetahui manusia, akan tetapi terbatas pada
variabel-variabel yang ditentukan dan memang terbatas pada pemahamandan sudut
pandang. Sehingga, sebagus apapun penelitian antropologi, namun belum dikatakan
menyeluruh. Mungkin inilah yang disebut kelemahan berpikir induktif-empiris
yang dikemukakan oleh Baqir ash-Shadr dalam karyanya, Falsafatuna.
Manusia,
menurut Qur’an, sebagai makhluk tertinggi yang diciptakan Allah, diciptakan
sebagai khalifah. Konsep paling sentral dalam Qur’an, sebagai titik tolak
antropologi berdasarkan wahyu, adalah khalifah. Cak Nur, dalam makalahnya yang
berjudul “Konsep-Konsep Antropologis dalam Al-Qur’an”, ada tiga unsur dalam
antropologi menurut wahyu perlu kita ketahui, yaitu konsep khalifah, interaksi
manusia dengan alam dan sejarah.
Menarik
bila kita melihat dalam keilmuan dasar penelitian hukum Islam (Ushul Fiqh),
bahwa dengan beragamnya masyarakat di dunia ini, hukum Islam mewadahi suatu
kaidah ushul yang dinamakan ‘Urf. Dalam kaidah fiqh, dikenal dalam kaidah
kulliyyah al-‘Adah Muhakkamah. Mengapa menarik? Karena disini akan menjadi
suatu cerminan dalam penyebaran Islam, yang telah dipraktekkan oleh para
walisongo dan juga ulama-ulama lain.
Masalah
secara teoritis-hukum tersebut mungkin dapat kita pahami bahwa Islam, dalam
ajarannya yang mendasar, mewadahi adanya penjelasan adat kebiasaan dan kebudayaan
suatu masyarakat. Dalam hal ini, kaidah ‘urf dan kaidah al-‘adah muhakkamah
dengan berbagai turunannya adalah kaidah antropologi hukum Islam.
Ada
beberapa tantangan yang kini perlu kita perhatikan dalam antropologi-profetik
dengan antropologi yang memang sudah ada di Barat. Pertama adalah masalah
penggalian dan metodologi yang berbeda. Kita dapat memahami bahwa Islam
mendasarkan pada wahyu berupa Qur’an dan penjelasan Rasulullah berdasarkan
Sunnah. Dengan beberapa kaidah tafsir seperti ta’wil dan asbabun nuzul,
pemahaman akan perkembangan sejak turunnya Qur’an dengan latar belakang masalah
dan kejadian dan penggalian bahasa arab yang memang dengan uslub dan struktur
bahasa yang sangat tinggi, memberikan peluang manusia mencari solusi masalah
Islam dan kebudayaan.
Berbeda
dengan antropologi yang memang berkembang di Barat sejak Marco Polo menjelajahi
seluruh bangsa di dunia, mendasarkan pada catatan praktek dan lapangan. Sejak
masa kebangkita eropa pasca renaisans dan revolusi industri, orang-orang barat
banyak berekspedisi ke wilayah-wilayah lain di luar benua eropa. Seperti
eksodus penduduk prancis dan inggris ke benua amerika, perjalanan Vespucci,
Colombus, dan Magelhaens yang saling berlomba mengelilingi bumi, dan penemuan
‘benua’ Hindia, yang lebih tepatnya Indonesia sebagai ladang subur sebagai
sumber utama perdagangan rempah-rempah.
Dengan
kata lain, terbentuknya embrio ilmu antropologi di Barat berawal pada
ketidaktahuan masyarakat Barat saat itu yang masih terkungkung sindrome
ekslusifitas baik agama dan wilayah, terhadap masyarakat di luar eropa. Sejak
renaisans dan revolusi industri, terjadi perkembangan pesat baik dalam bidang
pemikiran dan bidang teknik, sehingga mengembangkan hasrat penjelajahan masyarakat
Barat saat itu untuk mengetahui begitu beragamnya masyarakat. Akan tetapi,
dapat kita pahami,berkembangnya renaisans berimplikasi pada keterpisahan
institusi gereja yang mewakili agama kristen dengan negara. Kekejaman dan
kediktatoran gereja saat itu telah mengkungkung kebebasan intelektual dan
penggalian keilmuan secara empirik dan nyata yang sering disalahgunakan sebagai
‘penyimpangan dan penyesatan terhadap agama”. Bila kita memahami jalan sejarah
tersebut, dapat kita simpulkan bahwa akal-rasio dan eksperimen empiris menjadi
dasar utama dalam ilmu pengetahuan. Berbeda dengan sebelumya dimana kepercayaan
agama, mistisme dan mitologi saling tercampur sehingga membiaskan arti dari
keilmuan dan bahkan sumber wahyu semakin tidak murni.
Setelah
menjadi suatu dasar keilmuan, dimulailah dengan adanya ekspedisi baik untuk
mencari sumber-sumber ekonomi berupa satu komoditas yang sering disebut saat
itu juga sebagai zaman merkantilisme, dan ekspansi perdagangan seperti yang
terjadi di Indonesia. Namun, lebih penting lagi adalah ekspedisi yang salah satunya
oleh Jefferson dan Lafayette dari Inggris dan Prancis ke Amerika, untuk mencari
kehidupan baru demi kebebasan dan kemerdekaan serta membangun suatu pandangan
tata masyarakat baru (new world order) pasca penindasan gereja dan memang eropa
yang masih diliputi ‘kegelapan’.
Dasar
dari tujuan tersebut, dimulailah pengenalan-pengenalan terhadap
masyarakat-masyarakat yang memang belum pernah dilihat oleh masyarakat eropa.
Dapat kita pahami, bahwa di saat masa Abbasiyyah I dan II, Umawiyyah II, Saljukiyyah,
Mamluk-Fatimiyyah, dan Utsmaniyyah, kita mengenal banyaknya adat-adat kebiasaan
masyarakat yang amat berbeda. Bahkan, sejak zaman Rasulullah dan Khulafa
ar-Rasyidin, ‘pemerintahan’ saat itu mengenal dan berinteraksi dengan adat yang
berbeda dengan adat Arabiyyah. Misal saja peradaban Persia di Iran-Irak,
peradaban Romawi Timur di Jordan, Syria, Mesir dan Palestina, adat kebiasaan
Yaman, hingga Budaya Barbarian di tanah Ifriqiyyah di Sebelah utara bagian
barat Afrika seperti Libya, Tunisia hingga Sahara.
Pengakuan
terhadap budaya-budaya setempat ini, telah banyak tercatat bahkan dalam
kitab-kitab fiqh. Para Imam Mazhab seperti Imam Hanafi dan Imam Malik banyak
terpengaruh dengan kebiasaan masyarakat dimana para kedua imam tersebut
tinggal. Pula, Imam Syafi’i mengubah ijithad dan fatwanya baik periode saat di
jazirah arab dan hijaz (Qaul Qadim), dan saat beliau pindah ke mesir (Qaul
Jadid).
Dalam
Ilmu Hukum Islam tersebut, terdapat peran yang membangun baik dalam pembangunan
hukum Islam dalam suatu masyarakat dan rekonstruksi adat dan budaya yang
mengakar dalam masyarakat. Banyak contoh seperti Madinah dalam kaidah ushul
fiqh berdasarkan kebiasaan masyarakat madinah, ‘Urf dan istihsan dalam mazhab
Hanafi. Di Indonesia, banyak terjadi pembangunan hukum dan budaya Islam di
Aceh, Minang, Jawa, Bugis seperti di Makassar dan Bone, Ternate dan Tidore.
Pemahaman
antropologi Islam ini, dengan kata lain, merupakan ilmu yang memang sudah ada
sebelum adanya pemahaman antropologi yang sudah baku, meskipun kita juga mengenal
pemahaman budaya yang telah dibukukan sebagai kodifikasi hukum seperti imperium
Roma. Berbeda dengan pemahaman antropologi barat, akal dan rasio menuntut
terhadap materi dan eksperimen nyata sehingga kaidah daar suatu keilmuan adalah
relatif. Sedangkan, dalam pemahaman Islam, dasar antropologi kita adalah
khalifah dengan makna penjabarannya seperti me-ruang dan me-waktu, perbedaan,
dan perkembangan. Manusia, dengan perkembangannya, takkan pernah mutlak, namun
tentu perlu adanya petunjuk mutlak agar manusia tidak kehilangan arah, yaitu
al-Qur’an dan penjelasan RasulNya berupa Sunnah.
Baqir
ash-Shadr, dalam karya Falsafatuna-nya, mengkritik empirisisme berlebih dengan
mengabaikan adanya logika dan bimbingan wahyu. Kebenaran, baginya bukan
berkembang dan bersintesa, akan tetapi layaknya puzzle, akan semakin lengkap dan
lengkap, dan tidak berkembang. Inilah bahwa kebenaran harus selalu diuji, bukan
dengan dicari sehingga seakan kebenaran relatif. Relatif mungkin bagi pemahaman
manusia dalam suatu eksperimen dengan keadaan dan kadar tertentu, namun, secara
universal, kebenaran adalah mutlak, berdasarkan petunjuk wahyu.
Itulah
mengapa, antropologi berdasarkan pemahaman barat pasca renaisans, lebih
menitikberatkan pada masalah materi (materialisme) dan tujuan ‘mengalahkan
alam’ sesuai dengan falsafah mitologi Yunani yang penuh dengan tragedi dan
skeptisisme. Itulah mengapa kebenaran tidak akan pernah ditemukan, dan apabila
skeptisisime berlebih terhadap kebenaran, maka akan berkembang daya destruktif
manusia karena kebenaran yang tak bisa ditemukan. Inilah yang terjadi kini
dengan semakin hancurnya alam dan semakin dalamnya dekandensi moral.
Semakin
berkembangnya peradaban dan kebudayaan manusia, semakin berkembang pula
kebiasaan masyarakat dan perkembangan manusia. Bukan lagi kita membahas barat
dan timur, kata Cak Nur, namun masalah perkembangan teknologi dan
teknikalisasi. Benturan peradaban agraria dan teknologi telah mengakibatkan
keraguan dan gap peradaban dan kebiasaan. Dalam ekonomi, berkembang paham proteksionisme
dan pasar bebas. Sedangkan, di Indonesia, terdapat masyarakat pra-agraria,
agraria, teknikal dan digital-informatika.
Perkembangan
teknologi ini akan banyak mengubah tatanan kebudayaan manusia, sehingga
mengubah banyak kehidupan manusa. Akan tetapi, benar dengan penjelasan Cak Nur,
poin yang perlu diperhatikan adalah Khalifah, Alam dan Sejarah.
Oleh Kiagus Muhamad Iqbal
Departemen PTKP HMI Cabang Bogor
Komisariat STEI Tazkia Periode 2015-2016