Senin, 27 April 2015

ANTROPOLOGI ISLAM (1)




Masalah manusia dan kemanusiaan merupakan permasalahan yang selalu menjadi pembicaraan yang hangat di kalangan sebagian orang. Betapa tidak, hingga kini manusia tak dapat mendefinisikan apa itu manusia. Sutan Takdir Alisjahbana pernah mengatakan manusia tak dapat didefinisikan dengan kata apa pun. Bila manusia didefinisikan, maka telah mereduksi arti manusia itu sendiri.   


                Maka, bila kita menanyakan apa itu manusia, biarlah tak terjawab. Mengapa? Karena manusia adalah manusia. Seperti itulah bila kita ingin mengetahui manusia. Manusia hidup dalam ruang dan waktu, membentuk suatu perkumpulan, berawal dari bentuk keluarga, hingga menjadi suatu masyarakat. Masyarakat membentuk peraturan, membentuk adat dan kebiasaan. Adat dalam bahasa arab berarti pengulangan, sehingga perbuatan atau aturan tersebut sering dilakukan dan berlaku berulang sehingga menjadi kebiasaan masyarakat.

                Dalam kacamata keilmuan, dikenal adanya bidang ilmu yang disebut antropologi. Dapat kita mengenal bahwa secara bahasa, anthropos berarti manusia. Antropologi adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari manusia dan kemanusiaan. Akan tetapi, mustahil mendefinisikan apa itu manusia. Maka, antropologi mempelajari manusia dalam suatu wilayah baik berdasarkan sukunya atau komunitasnya. 

                Apakah dengan adanya ilmu antropologi tersebut, maka kita mengetahui apa itu manusia? Jawabannya adalah tidak. Kita dapat mengenal bahwa meskipun dengan antropologi, dengan manfaatnya dapat mengetahui manusia, akan tetapi terbatas pada variabel-variabel yang ditentukan dan memang terbatas pada pemahamandan sudut pandang. Sehingga, sebagus apapun penelitian antropologi, namun belum dikatakan menyeluruh. Mungkin inilah yang disebut kelemahan berpikir induktif-empiris yang dikemukakan oleh Baqir ash-Shadr dalam karyanya, Falsafatuna.

                Manusia, menurut Qur’an, sebagai makhluk tertinggi yang diciptakan Allah, diciptakan sebagai khalifah. Konsep paling sentral dalam Qur’an, sebagai titik tolak antropologi berdasarkan wahyu, adalah khalifah. Cak Nur, dalam makalahnya yang berjudul “Konsep-Konsep Antropologis dalam Al-Qur’an”, ada tiga unsur dalam antropologi menurut wahyu perlu kita ketahui, yaitu konsep khalifah, interaksi manusia dengan alam dan sejarah. 

                Menarik bila kita melihat dalam keilmuan dasar penelitian hukum Islam (Ushul Fiqh), bahwa dengan beragamnya masyarakat di dunia ini, hukum Islam mewadahi suatu kaidah ushul yang dinamakan ‘Urf. Dalam kaidah fiqh, dikenal dalam kaidah kulliyyah al-‘Adah Muhakkamah. Mengapa menarik? Karena disini akan menjadi suatu cerminan dalam penyebaran Islam, yang telah dipraktekkan oleh para walisongo dan juga ulama-ulama lain.

                Masalah secara teoritis-hukum tersebut mungkin dapat kita pahami bahwa Islam, dalam ajarannya yang mendasar, mewadahi adanya penjelasan adat kebiasaan dan kebudayaan suatu masyarakat. Dalam hal ini, kaidah ‘urf dan kaidah al-‘adah muhakkamah dengan berbagai turunannya adalah kaidah antropologi hukum Islam.

                Ada beberapa tantangan yang kini perlu kita perhatikan dalam antropologi-profetik dengan antropologi yang memang sudah ada di Barat. Pertama adalah masalah penggalian dan metodologi yang berbeda. Kita dapat memahami bahwa Islam mendasarkan pada wahyu berupa Qur’an dan penjelasan Rasulullah berdasarkan Sunnah. Dengan beberapa kaidah tafsir seperti ta’wil dan asbabun nuzul, pemahaman akan perkembangan sejak turunnya Qur’an dengan latar belakang masalah dan kejadian dan penggalian bahasa arab yang memang dengan uslub dan struktur bahasa yang sangat tinggi, memberikan peluang manusia mencari solusi masalah Islam dan kebudayaan.

                Berbeda dengan antropologi yang memang berkembang di Barat sejak Marco Polo menjelajahi seluruh bangsa di dunia, mendasarkan pada catatan praktek dan lapangan. Sejak masa kebangkita eropa pasca renaisans dan revolusi industri, orang-orang barat banyak berekspedisi ke wilayah-wilayah lain di luar benua eropa. Seperti eksodus penduduk prancis dan inggris ke benua amerika, perjalanan Vespucci, Colombus, dan Magelhaens yang saling berlomba mengelilingi bumi, dan penemuan ‘benua’ Hindia, yang lebih tepatnya Indonesia sebagai ladang subur sebagai sumber utama perdagangan rempah-rempah.

                Dengan kata lain, terbentuknya embrio ilmu antropologi di Barat berawal pada ketidaktahuan masyarakat Barat saat itu yang masih terkungkung sindrome ekslusifitas baik agama dan wilayah, terhadap masyarakat di luar eropa. Sejak renaisans dan revolusi industri, terjadi perkembangan pesat baik dalam bidang pemikiran dan bidang teknik, sehingga mengembangkan hasrat penjelajahan masyarakat Barat saat itu untuk mengetahui begitu beragamnya masyarakat. Akan tetapi, dapat kita pahami,berkembangnya renaisans berimplikasi pada keterpisahan institusi gereja yang mewakili agama kristen dengan negara. Kekejaman dan kediktatoran gereja saat itu telah mengkungkung kebebasan intelektual dan penggalian keilmuan secara empirik dan nyata yang sering disalahgunakan sebagai ‘penyimpangan dan penyesatan terhadap agama”. Bila kita memahami jalan sejarah tersebut, dapat kita simpulkan bahwa akal-rasio dan eksperimen empiris menjadi dasar utama dalam ilmu pengetahuan. Berbeda dengan sebelumya dimana kepercayaan agama, mistisme dan mitologi saling tercampur sehingga membiaskan arti dari keilmuan dan bahkan sumber wahyu semakin tidak murni.

                Setelah menjadi suatu dasar keilmuan, dimulailah dengan adanya ekspedisi baik untuk mencari sumber-sumber ekonomi berupa satu komoditas yang sering disebut saat itu juga sebagai zaman merkantilisme, dan ekspansi perdagangan seperti yang terjadi di Indonesia. Namun, lebih penting lagi adalah ekspedisi yang salah satunya oleh Jefferson dan Lafayette dari Inggris dan Prancis ke Amerika, untuk mencari kehidupan baru demi kebebasan dan kemerdekaan serta membangun suatu pandangan tata masyarakat baru (new world order) pasca penindasan gereja dan memang eropa yang masih diliputi ‘kegelapan’.

                Dasar dari tujuan tersebut, dimulailah pengenalan-pengenalan terhadap masyarakat-masyarakat yang memang belum pernah dilihat oleh masyarakat eropa. Dapat kita pahami, bahwa di saat masa Abbasiyyah I dan II, Umawiyyah II, Saljukiyyah, Mamluk-Fatimiyyah, dan Utsmaniyyah, kita mengenal banyaknya adat-adat kebiasaan masyarakat yang amat berbeda. Bahkan, sejak zaman Rasulullah dan Khulafa ar-Rasyidin, ‘pemerintahan’ saat itu mengenal dan berinteraksi dengan adat yang berbeda dengan adat Arabiyyah. Misal saja peradaban Persia di Iran-Irak, peradaban Romawi Timur di Jordan, Syria, Mesir dan Palestina, adat kebiasaan Yaman, hingga Budaya Barbarian di tanah Ifriqiyyah di Sebelah utara bagian barat Afrika seperti Libya, Tunisia hingga Sahara.

                Pengakuan terhadap budaya-budaya setempat ini, telah banyak tercatat bahkan dalam kitab-kitab fiqh. Para Imam Mazhab seperti Imam Hanafi dan Imam Malik banyak terpengaruh dengan kebiasaan masyarakat dimana para kedua imam tersebut tinggal. Pula, Imam Syafi’i mengubah ijithad dan fatwanya baik periode saat di jazirah arab dan hijaz (Qaul Qadim), dan saat beliau pindah ke mesir (Qaul Jadid). 

                Dalam Ilmu Hukum Islam tersebut, terdapat peran yang membangun baik dalam pembangunan hukum Islam dalam suatu masyarakat dan rekonstruksi adat dan budaya yang mengakar dalam masyarakat. Banyak contoh seperti Madinah dalam kaidah ushul fiqh berdasarkan kebiasaan masyarakat madinah, ‘Urf dan istihsan dalam mazhab Hanafi. Di Indonesia, banyak terjadi pembangunan hukum dan budaya Islam di Aceh, Minang, Jawa, Bugis seperti di Makassar dan Bone, Ternate dan Tidore. 

                Pemahaman antropologi Islam ini, dengan kata lain, merupakan ilmu yang memang sudah ada sebelum adanya pemahaman antropologi yang sudah baku, meskipun kita juga mengenal pemahaman budaya yang telah dibukukan sebagai kodifikasi hukum seperti imperium Roma. Berbeda dengan pemahaman antropologi barat, akal dan rasio menuntut terhadap materi dan eksperimen nyata sehingga kaidah daar suatu keilmuan adalah relatif. Sedangkan, dalam pemahaman Islam, dasar antropologi kita adalah khalifah dengan makna penjabarannya seperti me-ruang dan me-waktu, perbedaan, dan perkembangan. Manusia, dengan perkembangannya, takkan pernah mutlak, namun tentu perlu adanya petunjuk mutlak agar manusia tidak kehilangan arah, yaitu al-Qur’an dan penjelasan RasulNya berupa Sunnah. 

                Baqir ash-Shadr, dalam karya Falsafatuna-nya, mengkritik empirisisme berlebih dengan mengabaikan adanya logika dan bimbingan wahyu. Kebenaran, baginya bukan berkembang dan bersintesa, akan tetapi layaknya puzzle, akan semakin lengkap dan lengkap, dan tidak berkembang. Inilah bahwa kebenaran harus selalu diuji, bukan dengan dicari sehingga seakan kebenaran relatif. Relatif mungkin bagi pemahaman manusia dalam suatu eksperimen dengan keadaan dan kadar tertentu, namun, secara universal, kebenaran adalah mutlak, berdasarkan petunjuk wahyu.

                Itulah mengapa, antropologi berdasarkan pemahaman barat pasca renaisans, lebih menitikberatkan pada masalah materi (materialisme) dan tujuan ‘mengalahkan alam’ sesuai dengan falsafah mitologi Yunani yang penuh dengan tragedi dan skeptisisme. Itulah mengapa kebenaran tidak akan pernah ditemukan, dan apabila skeptisisime berlebih terhadap kebenaran, maka akan berkembang daya destruktif manusia karena kebenaran yang tak bisa ditemukan. Inilah yang terjadi kini dengan semakin hancurnya alam dan semakin dalamnya dekandensi moral.

                Semakin berkembangnya peradaban dan kebudayaan manusia, semakin berkembang pula kebiasaan masyarakat dan perkembangan manusia. Bukan lagi kita membahas barat dan timur, kata Cak Nur, namun masalah perkembangan teknologi dan teknikalisasi. Benturan peradaban agraria dan teknologi telah mengakibatkan keraguan dan gap peradaban dan kebiasaan. Dalam ekonomi, berkembang paham proteksionisme dan pasar bebas. Sedangkan, di Indonesia, terdapat masyarakat pra-agraria, agraria, teknikal dan digital-informatika.

                Perkembangan teknologi ini akan banyak mengubah tatanan kebudayaan manusia, sehingga mengubah banyak kehidupan manusa. Akan tetapi, benar dengan penjelasan Cak Nur, poin yang perlu diperhatikan adalah Khalifah, Alam dan Sejarah.

Oleh Kiagus Muhamad Iqbal
Departemen PTKP HMI Cabang Bogor
Komisariat STEI Tazkia Periode 2015-2016
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar