Selasa, 18 November 2014

Pemimpin Non-Muslim di Indonesia dalam persepektif Islam



           

Pemimpin menurut Dr. Muhsin labib adalah seseorang yang bisa menuntun kita, membawa kita kepada yang lebih baik, dapat di jadikan suri tauladan dan penghubung diantara kita dan Tuhan, yakni pemimpin mempunyai hubungan vertikal dan horizontal.

            Di dalam UUD 1945 tidak menjelaskan bahwa Indonesia adalah Negara Islam atau Negara agama lainnya, melainkan di dalam UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara Pancasila Berdemokrasi Pancasila. Jadi kalau kita merujuk kepada UUD 1945 maka siapapun boleh menjadi pemimpin tanpa memandang bulu baik itu agama, budaya, ras, suku, marga dan lain-lain, Bukankah kita mempunyai slogan “Bhinneka tunggal ika”? siapa pun pemimpinnya yang penting bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
            Dulu, sewaktu BPUPKI membahas rancangan Konstitusi, memang sempat muncul dalam Pembukaan UUD kata-kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pengikut-pengikutnya”, dan dalam batang tubuh UUD ada pasal yang berbunyi “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”, namun kata-kata itu kemudian dirubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa dan Presiden ialah orang Indonesia asli. Para Pendiri Republik ini sepakat bahwa Indonesia bukan Negara Islam.
Ketika UUD dibahas kembali oleh Konstituante hasil Pemilu 1955, mereka gagal menyusun Konstitusi baru, maka Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945. Amandemen UUD yang dilakukan MPR hasil Pemilu 1999 juga tidak mengubah Indonesia menjadi Negara Islam.
Namun kita sadar bahwa Indonesia adalah Negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia. Kembali ke pernyatan Dr. muhsin labib yang mengatakan pemimpin adalah penghubung di antara manusia dan tuhan maka seharusnya Indonesia di pimpin oleh orang Islam yang paling baik. Dengan itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan kembali dalam Fatwanya bahwa seorang muslim harus memilih pemimpin muslim. Ketua Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Din Syamsuddin, sudah menyatakan umat Islam wajib memilih pemimpin orang Islam yang Sholih. Ini adalah sikap MUI yang jelas dan benar.
MUI bukan melarang Non-muslim untuk mencalonkan diri menjadi pemimpin dan bukan untuk melawan konstitusi.
MUI dalam pelarangannya berlandaskan dalil Al-qur’an sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاء
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1)

            Non-Muslim sangat membahayakan bagi Aqidah umat Islam, di dalam Al-qur’an Allah berfirman:

وَلَنۡ تَرۡضٰى عَنۡكَ الۡيَهُوۡدُ وَلَا النَّصٰرٰى حَتّٰى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمۡ‌ؕ قُلۡ اِنَّ هُدَى اللّٰهِ هُوَ الۡهُدٰى‌ؕ وَلَٮِٕنِ اتَّبَعۡتَ اَهۡوَآءَهُمۡ بَعۡدَ الَّذِىۡ جَآءَكَ مِنَ الۡعِلۡمِ‌ۙ مَا لَـكَ مِنَ اللّٰهِ مِنۡ وَّلِىٍّ وَّلَا نَصِيۡرٍؔ‏ ﴿۱۲۰
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS. Al-baqoroh : 120)

Akan lebih berbahaya lagi apabila mendapatkan tampuk kepemimpinan dengan itu non-Muslim akan lebih leluasa dalam memimpin sehingga akan membahayakan aqidah umat Islam. Hal ini telah di buktikan oleh para psikolog yang mengatakan bahwasanya ajaran agama sangat mempengaruhi kejiwaan penganutnya, Sedikit banyak non-Muslim akan melencengkan aqidah umat Islam dan sulit untuk menjalankan ajaran agama Islam.
Syaikh Yusuf Qaradhawi berpendapat Dalam buku Min Fiqh al-Dawlah fi al-Islam, doktor alumni Universitas Al-Azhar itu mengatakan, orang-orang Islam dilarang mengangkat orang-orang Non-Muslim sebagai teman, orang kepercayaan, penolong, pelindung, pengurus dan pemimpin, bukan semata-mata karena beda agama. Akan tetapi, karena mereka membenci agama Islam dan memerangi orang-orang Islam, atau dalam bahasa Al-Quran disebut memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Syaikh Qaradhawi mendasarkan pendapatnya pada Surat Al-Mumtahanah : 1, yang terjemahnya sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia sehingga kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang. Padahal mereka telah ingkar kepada kebenaran yang disampaikan kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan kamu sendiri karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu…”
Syaikh Qaradhawi yang juga Ketua Persatuan Ulama Muslim Internasional, membagi orang Kafir atau Non-Muslim menjadi dua golongan. Pertama, yaitu golongan yang berdamai dengan orang-orang Islam, tidak memerangi dan mengusir mereka dari negeri mereka. Terhadap golongan ini, umat Islam harus berbuat baik dan berbuat adil. Di antaranya memberikan hak-hak politik sebagai warga Negara, yang sama dengan warga Negara lainnya perlu di garis bawahi bahwasanya memberikan hak-hak politik bukan berarti memberikan jabatan kepemimpinan namun memberikan hak suara atau hak memilih itu adalah temasuk hak politik, sehingga mereka tidak merasa terasingkan sebagai sesama anak Ibu Pertiwi.
Sedangkan golongan kedua, adalah golongan yang memusuhi dan memerangi umat Islam, seperti orang-orang Non-Muslim Mekah pada masa permulaan Islam yang sering menindas, menyiksa dan mencelakakan umat Islam. Terhadap golongan ini, umat Islam diharamkan mengangkat mereka sebagai pemimpin atau teman setia.
Pendapat Syaikh Qaradhawi ini didasarkan pada Surat Al-Mumtahanah : 8, yang terjemahnya sebagai berikut:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama, dan tidak pula mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
            Menurut hemat penulis pemimpin di Indonesia boleh siapa saja tanpa memandang agama karena Indonesia bukanlah Negara milik suatu agama. Namun, yang perlu kita ingat adalah penduduk Indonesia sebagai penduduk Muslim terbesar di dunia maka seyogyanya kita harus memilih pemimpin yang beragama Islam demi keselamatan aqidah umat Islam ini. 

Abdul Hamid Al-mansury
Anggota HMI Cab. Bogor Kom. STEI Tazkia
Disampaikan dalam Diskusi Sotoy HMI Insan Cita komisariat STEI Tazkia

1 komentar:

  1. tapi saya gak sepakat kalau indonesia harus di pimpin oleh orang non muslim.

    BalasHapus