Pemimpin menurut
Dr. Muhsin labib adalah seseorang yang bisa menuntun kita, membawa kita kepada
yang lebih baik, dapat di jadikan suri tauladan dan penghubung diantara kita
dan Tuhan, yakni pemimpin mempunyai hubungan vertikal dan horizontal.
Di dalam UUD 1945
tidak menjelaskan bahwa Indonesia adalah Negara Islam atau Negara agama
lainnya, melainkan di dalam UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara Pancasila
Berdemokrasi Pancasila. Jadi kalau kita merujuk kepada UUD 1945 maka siapapun
boleh menjadi pemimpin tanpa memandang bulu baik itu agama, budaya, ras, suku,
marga dan lain-lain, Bukankah kita mempunyai slogan “Bhinneka tunggal ika”?
siapa pun pemimpinnya yang penting bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih
baik.
Dulu, sewaktu BPUPKI membahas
rancangan Konstitusi, memang sempat muncul dalam Pembukaan UUD kata-kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pengikut-pengikutnya”, dan dalam batang tubuh UUD ada pasal yang berbunyi
“Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”, namun kata-kata itu
kemudian dirubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa dan Presiden ialah orang
Indonesia asli. Para Pendiri Republik ini sepakat bahwa Indonesia bukan Negara Islam.
Ketika UUD dibahas kembali oleh
Konstituante hasil Pemilu 1955, mereka gagal menyusun Konstitusi baru, maka
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945.
Amandemen UUD yang dilakukan MPR hasil Pemilu 1999 juga tidak mengubah
Indonesia menjadi Negara Islam.
Namun kita sadar bahwa Indonesia adalah Negara dengan mayoritas
penduduk muslim terbesar di dunia. Kembali ke pernyatan Dr. muhsin labib yang
mengatakan pemimpin adalah penghubung di antara manusia dan tuhan maka seharusnya
Indonesia di pimpin oleh orang Islam yang paling baik. Dengan itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan
kembali dalam Fatwanya bahwa seorang muslim harus memilih pemimpin muslim.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Din Syamsuddin,
sudah menyatakan umat Islam wajib memilih pemimpin orang Islam yang Sholih. Ini
adalah sikap MUI yang jelas dan benar.
MUI bukan
melarang Non-muslim untuk mencalonkan diri menjadi pemimpin dan bukan untuk
melawan konstitusi.
MUI dalam pelarangannya berlandaskan dalil Al-qur’an sebagai
berikut:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى
أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ
مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di
antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاء
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi
teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1)
Non-Muslim sangat membahayakan bagi
Aqidah umat Islam, di dalam Al-qur’an Allah berfirman:
وَلَنۡ
تَرۡضٰى عَنۡكَ الۡيَهُوۡدُ وَلَا النَّصٰرٰى حَتّٰى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمۡؕ قُلۡ
اِنَّ هُدَى اللّٰهِ هُوَ الۡهُدٰىؕ وَلَٮِٕنِ اتَّبَعۡتَ اَهۡوَآءَهُمۡ بَعۡدَ
الَّذِىۡ جَآءَكَ مِنَ الۡعِلۡمِۙ مَا لَـكَ مِنَ اللّٰهِ مِنۡ وَّلِىٍّ وَّلَا
نَصِيۡرٍؔ ﴿۱۲۰﴾
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak
akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah:
"Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan
sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang
kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS. Al-baqoroh : 120)
Akan lebih berbahaya lagi apabila mendapatkan
tampuk kepemimpinan dengan itu non-Muslim akan lebih leluasa dalam memimpin
sehingga akan membahayakan aqidah umat Islam. Hal ini telah di buktikan oleh
para psikolog yang mengatakan bahwasanya ajaran agama sangat mempengaruhi
kejiwaan penganutnya, Sedikit banyak non-Muslim akan melencengkan aqidah umat
Islam dan sulit untuk menjalankan ajaran agama Islam.
Syaikh Yusuf Qaradhawi berpendapat Dalam buku Min
Fiqh al-Dawlah fi al-Islam, doktor alumni Universitas Al-Azhar itu
mengatakan, orang-orang Islam dilarang mengangkat orang-orang Non-Muslim
sebagai teman, orang kepercayaan, penolong, pelindung, pengurus dan pemimpin,
bukan semata-mata karena beda agama. Akan tetapi, karena mereka membenci agama
Islam dan memerangi orang-orang Islam, atau dalam bahasa Al-Quran disebut
memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Syaikh Qaradhawi mendasarkan pendapatnya pada
Surat Al-Mumtahanah : 1, yang terjemahnya sebagai berikut:
“Hai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu
sebagai teman-teman setia sehingga kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita
Muhammad) karena rasa kasih sayang. Padahal mereka telah ingkar kepada
kebenaran yang disampaikan kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan kamu sendiri
karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu…”
Syaikh
Qaradhawi yang juga Ketua Persatuan Ulama Muslim Internasional, membagi orang
Kafir atau Non-Muslim menjadi dua golongan. Pertama, yaitu golongan yang
berdamai dengan orang-orang Islam, tidak memerangi dan mengusir mereka dari
negeri mereka. Terhadap golongan ini, umat Islam harus berbuat baik dan berbuat
adil. Di antaranya memberikan hak-hak politik sebagai warga Negara, yang sama
dengan warga Negara lainnya perlu di garis bawahi bahwasanya memberikan hak-hak
politik bukan berarti memberikan jabatan kepemimpinan namun memberikan hak
suara atau hak memilih itu adalah temasuk hak politik, sehingga mereka tidak
merasa terasingkan sebagai sesama anak Ibu Pertiwi.
Sedangkan
golongan kedua, adalah golongan yang memusuhi dan memerangi umat Islam, seperti
orang-orang Non-Muslim Mekah pada masa permulaan Islam yang sering menindas,
menyiksa dan mencelakakan umat Islam. Terhadap golongan ini, umat Islam
diharamkan mengangkat mereka sebagai pemimpin atau teman setia.
Pendapat Syaikh
Qaradhawi ini didasarkan pada Surat Al-Mumtahanah : 8, yang terjemahnya sebagai
berikut:
“Allah tidak
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tidak memerangimu karena agama, dan tidak pula mengusir kamu dari kampung
halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Menurut hemat penulis pemimpin di
Indonesia boleh siapa saja tanpa memandang agama karena Indonesia bukanlah
Negara milik suatu agama. Namun, yang perlu kita ingat adalah penduduk
Indonesia sebagai penduduk Muslim terbesar di dunia maka seyogyanya kita harus
memilih pemimpin yang beragama Islam demi keselamatan aqidah umat Islam ini.
Abdul Hamid Al-mansury
Anggota HMI Cab. Bogor Kom. STEI Tazkia
Anggota HMI Cab. Bogor Kom. STEI Tazkia
Disampaikan
dalam Diskusi Sotoy HMI Insan Cita komisariat STEI Tazkia
tapi saya gak sepakat kalau indonesia harus di pimpin oleh orang non muslim.
BalasHapus