Kamis, 27 November 2014

Ekonomi Islam, Pencabutan Subsidi BBM dan Ilmu Sosial Profetik




Islam Kaffah


Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al Baqarah: 208)

“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS Al-Baqarah: 85)



Fleksibilitas Perkara-perkara dunia
Dari ‘Aisyah dan dari Tsabit dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan pohon kurma lalu beliau bersabda: “Sekiranya mereka tidak melakukannya, kurma itu akan (tetap) baik”.  Tapi setelah itu, ternyata kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak. Hingga suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati mereka lagi dan melihat hal itu beliau bertanya: ‘Ada apa dengan pohon kurma kalian? Mereka menjawab; Bukankah anda telah mengatakan hal ini dan hal itu?  Beliau lalu bersabda: ‘Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian’ (HR Muslim 4358)

Asal dalam mu’amalat adalah halal dan boleh kecuali kalau ada dalil yang mengharamkan atau melarang.

Dalil-dalil dalam mengenai Islam kaffah menegaskan bahwa kita harus totalitas dalam berIslam. Sementara dalil-dalil mengenai fleksibilitas perkara dunia dan muamalah menyatakan bahwa urusan dunia diserahkan kepada pemikiran kita. Apakah ini bertentangan? Jawabannya tidak. Dalam mengkompromikan dua dalil di atas kita dapat membagi ajaran Islam menjadi 2:
1.      Universal (Tsawabit)
Di dalamnya berisi prinsip-prinsip dan nilai-nilai moral yang mutlak dan kekal. Shalih likulli zamaan wa makaan. Contohnya soal tauhid keadilan, sepanjang masa dan dimanapun keadilan akan selalu baik dan benar.
2.      Partikular (Mutaghayyiraat)
Di dalamnya berisi hal-hal yang bersifat teknis operasional yang relative dan fleksibel menyesuaikan dengan waktu dan tempat. Yataghayyar bi taghayyuril amkinah wal azminah. Contohnya soal model pakaian, makanan pokok dll. Menyesuaikan dengan budaya setempat. Fleksibilitas ajaran yang particular tidak boleh bertentangan dengan yang universal.

Dalam ekonomi Islam pun begitu, kita perlu memisahkan mana yang universal dan mana yang particular. Dalam ekonomi Islam yang universal adalah prinsip-prinsipnya, misalkan perkonomian yang adil dan membawa mashlahat bagi semua. Sementara yang particular adalah soal lembaga keuangan, walau zaman Rasulullah belum ada bank syariah, namun system bank boleh diadopsi di masa kini asal tidak bertentangan dengan prinsip universal.



Prinsip-prinsip Berekonomi secara Islami
1.      Mengakui Mekanisme Pasar
“Harga melambung pada zaman Rasulullah SAW. Orang-orang ketika itu mengajukan saran kepada Rasulullah dengan berkata: “ya Rasulullah hendaklah engkau menetukan harga”. Rasulullah SAW. berkata:”Sesungguhnya Allah-lah yang menetukan harga, yang menahan dan melapangkan dan memberi rezeki. Sangat aku harapkan bahwa kelak aku menemui Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu menuntutku tentang kezaliman dalam darah maupun harta.” Ad-Darimy, Sunan Ad-Darimy, Darul Fikri Beirut , tt., hlm  78
2.      Mengakui Kepentingan Umum
Kaum muslimin berserikat (memiliki bersama) dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.
(Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, dan dalam riwayat Ibnu Majah, dari Ibnu 'Abbas ada tambahan:dan harganya haram.)
3.      Mendorong Distribusi Pendapatan
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (QS. Al Hasyr: 7). 
4.      Larangan Mendapatkan Harta dengan Cara yang Bathil
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.(QS. Al Baqarah 188)."

Inti dari prinsip-prinsip di atas dan prinsip lain yang tidak disebutkan adalah mashlahah. Abu Yusuf mengeluarkan sebuah kaidah yakni, “Tasharruful imam ‘ala ra’iyyah manuuthun bil mashlahah”, kebijakan penguasa atas rakyat harus didasarkan kepada mashlahah. Teori mengenai mashlahah dalam Islam telah dikembangkan oleh Fuqaha menjadi teori maqashid syariah. Adapun maqashid syariah yaitu a. Menjaga agama b. Menjaga Kehidupan c. Menjaga Akal d. Menjaga Keturunan e. Menjaga Harta. Maka dari itu, saat kita ingin menjawab pertanyaan, apakah kenaikan BBM bertentangan dengan ekonomi Islam atau malah bersesuaian? Kita bisa menggunakan indicator maqashid syariah.

Polemik Subsidi BBM yang Tak Selesai
Jika kita mencermati pendapat yang pro maupun yang kontra dengan pencabutan subsidi BBM, maka dua-duanya menganggap pendapatnya adalah yang paling memiliki mashlahat lebih besar bagi bangsa Indonesia. Lalu yang membuat perdebatan ini semakin pelik adalah perbedaan ideology atau cara pandang dalam melihat masalah ini. Kalau kita lacak, maka pada dasarnya ini adalah pertarungan ideology kapitalis yang menekankan efisiensi ekonomi dan sosialis yang lebih menekankan system ekonomi yang humanis.
Ideologi kapitalisme relative berpegang pada hitungan rasional dan  bersikap realistis. Sementara ideology sosialisme relative lebih berpegang pada idealisme masyarakat baru yang berkeadilan. Ideologi pertama diwakili oleh teknokrat yang memegang kebijakan, sementara ideology kedua banyak diwakili oleh gerakan mahasiswa mainstream. Kalaupun toh Indonesia mempunyai system ekonomi pancasila yang katanya bukan kapitalisme dan sosialisme, tetap saja ekonomi pancasila harus memilih, lebih cenderung kemana? Kapitalisme atau sosialisme? Zaman awal kemerdekaan lebih cenderung sosialis, sementara mulai orde baru cenderung ke kapitalisme.
Saat berbicara ekonomi Islam, maka mau tidak mau kita harus menjawab pertanyaan, mana yang lebih islami ? Para teknokrat pengambil kebijakan atau para mahasiswa yang berdemo? Bagi saya ekonomi Islam tidak dapat mengeluarkan alternative ketiga, karena hal tersebut membuat kita terkesan cari aman.


Pencabutan Subsidi ditinjau dalam Nalar Profetik
Adalah Kuntowijoyo yang pertama kali memperkenalkan istilah Ilmu Sosial Profetik. Pada awalnya August Comte lah yang mencetuskan Ilmu Sosiologi dengan paradigm positivistik. Paradigma positivistic berarti manusia difahami sama dengan alam yaitu diamati secara rasional dan empiris. Manusia atau masyarakat menjadi objek kajian, sementara si ilmuwan social menjadi subjek kajian. Ilmu social positivistic berpendapat bahwa seorang ilmuwan harus netral, tidak boleh berpihak. Inilah yang menjadi paradigma mainstream ilmu social hari ini termasuk yang sehari-hari kita pelajari di kampus.
Muncullah kritik terhadap paradigm postivistik dalam ilmu social, lahirlah pradigma baru yakni paradigm kritis. Paradigma ini menolak penyamaan manusia dengan alam, biar bagaimanapun manusia adalah makhluk yang unik dan berbeda dengan alam. Manusia adalah subjek, tidak boleh jadi objek. Saat manusia menjadi objek maka telah terjadi eksploitasi sesame manusia, dan ini bertentangan dengan prinsip keadilan. Paradigma ini menyatakan bahwa seorang ilmuwan harus berpihak terutama kepada yang tertindas. Paradigma ini kental dengan nuansa kiri, atau pemikiran sosialisme karena pembelaannya terhadap kaum yang tertindas.
Paradigma kritis ini disempurnakan oleh Kuntowijoyo dengan paradigm profetik. Jika basis paradigm kritis berbasis kepada sekulerisme, maka Kuntowijoyo membangun paradigm profetik berdasarkan Al Quran. Ilmu social profetik seperti namanya adalah ilmu social yang bersifat kenabian (prophet). Suatu ketika Muhammad Iqbal mengutip syair Syaikh Abdul Quddus seorang sufi dari gangga bertanya, apa bedanya nabi dan sufi? Lalu dia menjelaskan kalau sufi, saat dia sudah mencapai puncak spiritualitas, maka dia tidak mau kembali lagi ke dunia. Sementara nabi, misalnya Nabi Muhammad saw. Saat sudah berada di sidratul muntaha, dia kembali lagi ke bumi dan melakukan reformasi social. Inilah basis nalar profetik, yakni sebagai umat beragama kita tidak boleh hanya berasyik ma’syuk dalam spiritualitas, namun harus membumi dan melakukan amal shalih yang bermanfaat bagi umat di sekitarnya. Dalam Al Quran disebutkan bahwa manusia diciptakan selain sebagai ‘abd juga sebagai khalifah fil ardh, ini berarti ini berarti salah satu amanah yang diberikan Allah kepada manusia lantas ditolak oleh gunung adalah memakmurkan bumi.
Lantas bagaimana cara memakmurkan bumi tersebut? Kuntowijoyo mengutip Surat Ali Imran ayat 110 yang berbunyi "Kamu adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk umat manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah kemungkaran dan kamu beriman kepada Allah."  Menariknya adalah Kuntowijoyo menafsirkan amar ma’ruf dengan humanisasi, nahi munkar dengan liberasi dan tu’minuuna billah dengan transendensi. Humanisasi adalah upaya kembali memanusiakan manusia, pasca revolusi industry, manusia mengalami alienasi karena hanya menjadi salah satu factor produksi. Manusia bagai mayat hidup yang tidak sadar atas eksistensinya sendiri karena terjebak rutinitas. Liberasi maksudnya adalah pembebasan kaum dhuafa dari pihak-pihak yang ingin mezhalimi atau mengeksploitasi mereka. Dan transendensi adalah bahwa orientasi dalam melakukan humanisasi dan liberasi semata-mata karena ketaatan kepada Allah.
Jika kita hubungkan teori di atas dengan kasus pencabutan subsidi, maka jelas bahwa pencabutan subsidi bbm merugikan rakyat kecil dengan adanya inflasi dari berbagai sector. Adapun hitungan-hitungan rasional yang dikeluarkan pemerintah masih berkutat paradigm positivistic yang tidak menjawab persoalan secara menyeluruh. 

Oleh: M. Robby Rodliyya K. 

[1] Disampaikan dalam kajian HMI Komisariat STEI Tazkia Senin 24 November 2014
[2] Penulis adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Ekonomi Islam semester 7 dan Ketua IMM STEI Tazkia
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar