Islam Kaffah
Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al Baqarah: 208)
“Apakah kamu beriman kepada
sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah
balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam
kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang
sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS Al-Baqarah: 85)
Fleksibilitas Perkara-perkara dunia
Dari ‘Aisyah dan dari Tsabit dari Anas bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam pernah melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan pohon kurma
lalu beliau bersabda: “Sekiranya mereka tidak melakukannya, kurma itu akan
(tetap) baik”. Tapi setelah itu, ternyata kurma tersebut tumbuh dalam
keadaan rusak. Hingga suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati
mereka lagi dan melihat hal itu beliau bertanya: ‘Ada apa dengan pohon kurma
kalian? Mereka menjawab; Bukankah anda telah mengatakan hal ini dan hal
itu? Beliau lalu bersabda: ‘Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian’
(HR Muslim 4358)
Asal dalam mu’amalat adalah halal dan boleh
kecuali kalau ada dalil yang mengharamkan atau melarang.
Dalil-dalil dalam mengenai Islam kaffah
menegaskan bahwa kita harus totalitas dalam berIslam. Sementara dalil-dalil
mengenai fleksibilitas perkara dunia dan muamalah menyatakan bahwa urusan dunia
diserahkan kepada pemikiran kita. Apakah ini bertentangan? Jawabannya tidak.
Dalam mengkompromikan dua dalil di atas kita dapat membagi ajaran Islam menjadi
2:
1.
Universal
(Tsawabit)
Di dalamnya berisi
prinsip-prinsip dan nilai-nilai moral yang mutlak dan kekal. Shalih likulli
zamaan wa makaan. Contohnya soal tauhid keadilan, sepanjang masa dan dimanapun
keadilan akan selalu baik dan benar.
2.
Partikular
(Mutaghayyiraat)
Di dalamnya berisi hal-hal yang bersifat
teknis operasional yang relative dan fleksibel menyesuaikan dengan waktu dan
tempat. Yataghayyar bi taghayyuril amkinah wal azminah. Contohnya soal model
pakaian, makanan pokok dll. Menyesuaikan dengan budaya setempat. Fleksibilitas
ajaran yang particular tidak boleh bertentangan dengan yang universal.
Dalam
ekonomi Islam pun begitu, kita perlu memisahkan mana yang universal dan mana
yang particular. Dalam ekonomi Islam yang universal adalah prinsip-prinsipnya,
misalkan perkonomian yang adil dan membawa mashlahat bagi semua. Sementara yang
particular adalah soal lembaga keuangan, walau zaman Rasulullah belum ada bank
syariah, namun system bank boleh diadopsi di masa kini asal tidak bertentangan
dengan prinsip universal.
Prinsip-prinsip Berekonomi secara Islami
1.
Mengakui
Mekanisme Pasar
“Harga melambung pada zaman Rasulullah SAW.
Orang-orang ketika itu mengajukan saran kepada Rasulullah dengan berkata: “ya
Rasulullah hendaklah engkau menetukan harga”. Rasulullah SAW. berkata:”Sesungguhnya Allah-lah yang menetukan
harga, yang menahan dan melapangkan dan memberi rezeki. Sangat aku harapkan bahwa kelak
aku menemui Allah dalam keadaan tidak
seorang pun dari kamu menuntutku tentang kezaliman dalam darah maupun harta.” Ad-Darimy, Sunan
Ad-Darimy, Darul Fikri Beirut , tt., hlm 78
2.
Mengakui
Kepentingan Umum
Kaum muslimin berserikat (memiliki bersama) dalam tiga hal: air, padang
rumput, dan api.
(Diriwayatkan oleh
Ahmad dan Abu Dawud, dan dalam riwayat Ibnu Majah, dari Ibnu 'Abbas ada
tambahan:dan harganya haram.)
3. Mendorong Distribusi Pendapatan
Apa saja harta rampasan (fai-i)
yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari
penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan,
supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.
apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
amat keras hukumannya. (QS. Al Hasyr: 7).
4. Larangan Mendapatkan Harta dengan Cara yang Bathil
Dan janganlah sebahagian kamu memakan
harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui.(QS. Al Baqarah 188)."
Inti
dari prinsip-prinsip di atas dan prinsip lain yang tidak disebutkan adalah
mashlahah. Abu Yusuf mengeluarkan sebuah kaidah yakni, “Tasharruful imam ‘ala
ra’iyyah manuuthun bil mashlahah”, kebijakan penguasa atas rakyat harus
didasarkan kepada mashlahah. Teori mengenai mashlahah dalam Islam telah
dikembangkan oleh Fuqaha menjadi teori maqashid syariah. Adapun maqashid
syariah yaitu a. Menjaga agama b. Menjaga Kehidupan c. Menjaga Akal d. Menjaga
Keturunan e. Menjaga Harta. Maka dari itu, saat kita ingin menjawab pertanyaan,
apakah kenaikan BBM bertentangan dengan ekonomi Islam atau malah bersesuaian?
Kita bisa menggunakan indicator maqashid syariah.
Polemik Subsidi BBM yang Tak Selesai
Jika
kita mencermati pendapat yang pro maupun yang kontra dengan pencabutan subsidi
BBM, maka dua-duanya menganggap pendapatnya adalah yang paling memiliki
mashlahat lebih besar bagi bangsa Indonesia. Lalu yang membuat perdebatan ini
semakin pelik adalah perbedaan ideology atau cara pandang dalam melihat masalah
ini. Kalau kita lacak, maka pada dasarnya ini adalah pertarungan ideology
kapitalis yang menekankan efisiensi ekonomi dan sosialis yang lebih menekankan
system ekonomi yang humanis.
Ideologi
kapitalisme relative berpegang pada hitungan rasional dan bersikap realistis. Sementara ideology
sosialisme relative lebih berpegang pada idealisme masyarakat baru yang
berkeadilan. Ideologi pertama diwakili oleh teknokrat yang memegang kebijakan,
sementara ideology kedua banyak diwakili oleh gerakan mahasiswa mainstream.
Kalaupun toh Indonesia mempunyai system ekonomi pancasila yang katanya bukan
kapitalisme dan sosialisme, tetap saja ekonomi pancasila harus memilih, lebih
cenderung kemana? Kapitalisme atau sosialisme? Zaman awal kemerdekaan lebih
cenderung sosialis, sementara mulai orde baru cenderung ke kapitalisme.
Saat
berbicara ekonomi Islam, maka mau tidak mau kita harus menjawab pertanyaan,
mana yang lebih islami ? Para teknokrat pengambil kebijakan atau para mahasiswa
yang berdemo? Bagi saya ekonomi Islam tidak dapat mengeluarkan alternative
ketiga, karena hal tersebut membuat kita terkesan cari aman.
Pencabutan Subsidi ditinjau dalam Nalar
Profetik
Adalah
Kuntowijoyo yang pertama kali memperkenalkan istilah Ilmu Sosial Profetik. Pada
awalnya August Comte lah yang mencetuskan Ilmu Sosiologi dengan paradigm
positivistik. Paradigma positivistic berarti manusia difahami sama dengan alam
yaitu diamati secara rasional dan empiris. Manusia atau masyarakat menjadi
objek kajian, sementara si ilmuwan social menjadi subjek kajian. Ilmu social
positivistic berpendapat bahwa seorang ilmuwan harus netral, tidak boleh
berpihak. Inilah yang menjadi paradigma mainstream ilmu social hari ini
termasuk yang sehari-hari kita pelajari di kampus.
Muncullah
kritik terhadap paradigm postivistik dalam ilmu social, lahirlah pradigma baru
yakni paradigm kritis. Paradigma ini menolak penyamaan manusia dengan alam,
biar bagaimanapun manusia adalah makhluk yang unik dan berbeda dengan alam.
Manusia adalah subjek, tidak boleh jadi objek. Saat manusia menjadi objek maka
telah terjadi eksploitasi sesame manusia, dan ini bertentangan dengan prinsip
keadilan. Paradigma ini menyatakan bahwa seorang ilmuwan harus berpihak
terutama kepada yang tertindas. Paradigma ini kental dengan nuansa kiri, atau
pemikiran sosialisme karena pembelaannya terhadap kaum yang tertindas.
Paradigma
kritis ini disempurnakan oleh Kuntowijoyo dengan paradigm profetik. Jika basis
paradigm kritis berbasis kepada sekulerisme, maka Kuntowijoyo membangun
paradigm profetik berdasarkan Al Quran. Ilmu social profetik seperti namanya
adalah ilmu social yang bersifat kenabian (prophet). Suatu ketika Muhammad
Iqbal mengutip syair Syaikh Abdul Quddus seorang sufi dari gangga bertanya, apa
bedanya nabi dan sufi? Lalu dia menjelaskan kalau sufi, saat dia sudah mencapai
puncak spiritualitas, maka dia tidak mau kembali lagi ke dunia. Sementara nabi,
misalnya Nabi Muhammad saw. Saat sudah berada di sidratul muntaha, dia kembali
lagi ke bumi dan melakukan reformasi social. Inilah basis nalar profetik, yakni
sebagai umat beragama kita tidak boleh hanya berasyik ma’syuk dalam
spiritualitas, namun harus membumi dan melakukan amal shalih yang bermanfaat
bagi umat di sekitarnya. Dalam Al Quran disebutkan bahwa manusia diciptakan
selain sebagai ‘abd juga sebagai khalifah fil ardh, ini berarti ini berarti
salah satu amanah yang diberikan Allah kepada manusia lantas ditolak oleh
gunung adalah memakmurkan bumi.
Lantas
bagaimana cara memakmurkan bumi tersebut? Kuntowijoyo mengutip Surat Ali Imran
ayat 110 yang berbunyi "Kamu
adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk umat manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf dan mencegah kemungkaran dan kamu beriman kepada Allah."
Menariknya adalah Kuntowijoyo menafsirkan amar ma’ruf dengan humanisasi, nahi
munkar dengan liberasi dan tu’minuuna billah dengan transendensi. Humanisasi
adalah upaya kembali memanusiakan manusia, pasca revolusi industry, manusia mengalami
alienasi karena hanya menjadi salah satu factor produksi. Manusia bagai mayat
hidup yang tidak sadar atas eksistensinya sendiri karena terjebak rutinitas.
Liberasi maksudnya adalah pembebasan kaum dhuafa dari pihak-pihak yang ingin
mezhalimi atau mengeksploitasi mereka. Dan transendensi adalah bahwa orientasi
dalam melakukan humanisasi dan liberasi semata-mata karena ketaatan kepada
Allah.
Jika
kita hubungkan teori di atas dengan kasus pencabutan subsidi, maka jelas bahwa
pencabutan subsidi bbm merugikan rakyat kecil dengan adanya inflasi dari
berbagai sector. Adapun hitungan-hitungan rasional yang dikeluarkan pemerintah
masih berkutat paradigm positivistic yang tidak menjawab persoalan secara
menyeluruh.
Oleh: M. Robby
Rodliyya K.
[1] Disampaikan dalam kajian HMI Komisariat STEI Tazkia Senin 24
November 2014
[2] Penulis adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Ekonomi
Islam semester 7 dan Ketua IMM STEI Tazkia