Selasa, 26 Mei 2015

TAZKIA TANPA MENULIS, BUTIRAN DEBU

Tidak bisa dipungkiri bahwa kemampuan menulis adalah keterampilan yang mutlak mesti dipunyai oleh sebuah kampus. Karena dari budaya menulis kita bisa melihat perkembangan dan dinamika sebuah perguruan tinggi. Akan banyak sejarah yang hilang bila tidak ada sosok yang menuliskannya. Sebut saja peradaban Yunani misalnya, negara satu ini bisa dikenang kehebatannya sampai sekarang, karena budaya tulis menulis yang menjaganya dari kepunahan. Wajarlah jika R.A Kartini pernah mengatakan bahwa menulis adalah kerja keabadian. Karena memang dengan demikian, kita bisa dikenang sekalipun jasad sudah tak bernyawa.


Kampus merupakan representatif dari kaum cendikiawan. Disinilah para aktor intelektual negara dikarantina (katanya). Sudah sewajarnya bila kampus menjadi tempat yang paling dinamis dalam inovasi ilmu pengetahuan. Sebagaimana penulis sebutkan dimuka tadi bahwa salah satu ejawantahan dari budaya pengetahuan adalah menulis. Lalu bagaimana cakap, jika dalam sebuah lembaga yang digadang-gadang sebagai pusat pengetahuan miskin dari tulisan-tulisan?

Menulis tidak melulu berbentuk karya ilmiah, namun bisa juga berupa opini, puisi, berita dan sejenisnya yang lahir dalam proses merespons fenomena. Bila semua itu sudah tidak ada. Maka dengan jujur  harus kita akui, ada kesalahan dalam lembaga pendidikan kita. Pisau pena kita masih menumpul. Harus ada gerakan menuju kesana. Sebuah gerakan perbaikan dalam mengasah kemampuan menulis.
Tentu kita selaku mahasiswa Tazkia sudah paham betul apa visi kampus kita (mudah-mudahan). Begini bunyinya, “menjadi rujukan ilmu dan amal ekonomi islam”, begitulah kurang lebih. Saya belum paham betul bagaimana logika yang harus kita pakai dalam menyikapi visi kampus ini. Apakah kita yang harus bertanggung jawab membumikan visi tersebut, atau hal itu merupakan bonus yang kita dapat ketika kita memutuskan untuk berkuliah di Tazkia. 
Namun bila direnungkan lebih dalam, tak ada salahnya jika kita ikut ambil bagian dalam proyek Ketuhanan ini. Inilah salah satu jalan penghambaan kita pada Tuhan. Betul toh? Kita selaku muslim harus selalu sadar dan menyadari bahwa kitalah agen (Kholifah) yang menghidupkan nilai-nilai islam dalam kehidupan sehari-hari, tak terlepas nilai islam dalam berekonomi.

Kawan kawan pasti pernah mendapat tugas membuat makalah, essai, karya tulis dan sebagainya. Cobalah kita ingat-ingat kembali ketika melakukan “searching materi”. Darimana sumber referensi yang kita kutip? Website/blog mahasiswa Tazkiakah yang sedang kita kunjungi?. Atau blog para alumninya mungkin?. Amat jarang, atau mungkin belum pernah sekalipun kita mendapati hal demikian. Lalu yang menjadi persoalan kemudian, dimanakah tulisan-tulisan yang lahir dari rahim intelektual mahasiswa Tazkia?. Sudah sejauh mana pembumian visi-misi kampus untuk menggapai maqom (kedudukan) sebagai rujukan ilmu dan amal ekonomi islam? Penulis kira ini sebuah ironi yang mengerikan.
Melihat begitu sedikitnya peran kita dalam memunculkan referensi di dunia maya maupun dunia nyata, merupakan fakta lain bahwa kita masih bergerak di tempat. Belum ada tindakan masif dari kita selaku civitas akademik tazkia dalam membumikan visi dan misi kampus, wabilkhusus di dunia maya. Tak ada pilihan lain kecuali memupuk persemaian cita-cita mulia itu agar segera mengejawantah dalam karya nyata, lahir dalam wujud tulisan tentang ekonomi syariah yang informatif bagi pembaca.

Kampus sebagai persemaian ilmu pengetahuan yang paling dinamis harus kembali menata pergerakannya. Menyoal ulang apa fitrah lembaga pendidikan yang sebenarnya. Apakah sudah berada pada the right track. Atau mungkin malah mendustai status primordialnya. Untuk saat ini, menulis dan membaca adalah dua cara yang bisa kita lakukan agar terhindar dari dunia yang semakin penuh tipu daya. Sarana berkomunikasi dengan diri sekaligus berkontrbusi untuk sesama. Ayo menulis!. Yakusa.
Wallahu a’lamu bishshowab.

Oleh; Joni Iskandar
Kader HMI Cabang Bogor 
Komisariat Stei Tazkia



Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar