TAZKIA TANPA MENULIS, BUTIRAN DEBU
Tidak bisa
dipungkiri bahwa kemampuan menulis adalah keterampilan yang mutlak mesti
dipunyai oleh sebuah kampus. Karena dari budaya menulis kita bisa melihat
perkembangan dan dinamika sebuah perguruan tinggi. Akan banyak sejarah yang
hilang bila tidak ada sosok yang menuliskannya. Sebut saja peradaban Yunani
misalnya, negara satu ini bisa dikenang kehebatannya sampai sekarang, karena
budaya tulis menulis yang menjaganya dari kepunahan. Wajarlah jika R.A Kartini
pernah mengatakan bahwa menulis adalah kerja keabadian. Karena memang dengan
demikian, kita bisa dikenang sekalipun jasad sudah tak bernyawa.
Kampus merupakan
representatif dari kaum cendikiawan. Disinilah para aktor intelektual negara
dikarantina (katanya). Sudah sewajarnya bila kampus menjadi tempat yang
paling dinamis dalam inovasi ilmu pengetahuan. Sebagaimana penulis sebutkan
dimuka tadi bahwa salah satu ejawantahan dari budaya pengetahuan adalah
menulis. Lalu bagaimana cakap, jika dalam sebuah lembaga yang digadang-gadang
sebagai pusat pengetahuan miskin dari tulisan-tulisan?
Menulis
tidak melulu berbentuk karya ilmiah, namun bisa juga berupa opini, puisi,
berita dan sejenisnya yang lahir dalam proses merespons fenomena. Bila semua itu
sudah tidak ada. Maka dengan jujur harus
kita akui, ada kesalahan dalam lembaga pendidikan kita. Pisau pena kita masih
menumpul. Harus ada gerakan menuju kesana. Sebuah gerakan perbaikan dalam
mengasah kemampuan menulis.
Tentu kita
selaku mahasiswa Tazkia sudah paham betul apa visi kampus kita (mudah-mudahan).
Begini bunyinya, “menjadi rujukan ilmu dan amal ekonomi islam”,
begitulah kurang lebih. Saya belum paham betul bagaimana logika yang harus kita
pakai dalam menyikapi visi kampus ini. Apakah kita yang harus bertanggung jawab
membumikan visi tersebut, atau hal itu merupakan bonus yang kita dapat ketika kita
memutuskan untuk berkuliah di Tazkia.
Namun bila
direnungkan lebih dalam, tak ada salahnya jika kita ikut ambil bagian dalam
proyek Ketuhanan ini. Inilah salah satu jalan penghambaan kita pada Tuhan. Betul
toh? Kita selaku muslim harus selalu sadar dan menyadari bahwa kitalah agen (Kholifah) yang
menghidupkan nilai-nilai islam dalam kehidupan sehari-hari, tak terlepas nilai
islam dalam berekonomi.
Kawan kawan
pasti pernah mendapat tugas membuat makalah, essai, karya tulis dan sebagainya.
Cobalah kita ingat-ingat kembali ketika melakukan “searching materi”. Darimana
sumber referensi yang kita kutip? Website/blog mahasiswa Tazkiakah yang sedang
kita kunjungi?. Atau blog para alumninya mungkin?. Amat jarang, atau mungkin belum
pernah sekalipun kita mendapati hal demikian. Lalu yang menjadi persoalan
kemudian, dimanakah tulisan-tulisan yang lahir dari rahim intelektual mahasiswa
Tazkia?. Sudah sejauh mana pembumian visi-misi kampus untuk menggapai maqom (kedudukan) sebagai rujukan ilmu dan amal ekonomi islam? Penulis kira ini sebuah ironi yang
mengerikan.
Melihat
begitu sedikitnya peran kita dalam memunculkan referensi di dunia maya maupun
dunia nyata, merupakan fakta lain bahwa kita masih bergerak di tempat. Belum
ada tindakan masif dari kita selaku civitas akademik tazkia dalam membumikan
visi dan misi kampus, wabilkhusus di dunia maya. Tak ada pilihan lain kecuali
memupuk persemaian cita-cita mulia itu agar segera mengejawantah dalam karya
nyata, lahir dalam wujud tulisan tentang ekonomi syariah yang informatif bagi
pembaca.
Kampus
sebagai persemaian ilmu pengetahuan yang paling dinamis harus kembali menata
pergerakannya. Menyoal ulang apa fitrah lembaga pendidikan yang sebenarnya. Apakah
sudah berada pada the right track. Atau mungkin malah mendustai status
primordialnya. Untuk saat ini, menulis dan membaca adalah dua cara yang bisa
kita lakukan agar terhindar dari dunia yang semakin penuh tipu daya. Sarana
berkomunikasi dengan diri sekaligus berkontrbusi untuk sesama. Ayo menulis!. Yakusa.
Wallahu
a’lamu bishshowab.
Oleh; Joni Iskandar
Kader HMI Cabang Bogor
Komisariat Stei Tazkia