Hari ini senin, 27 Oktober 2014 negara kita telah memiliki pemimpin baru. Terlepas
dari berbagai macam isu miring yang berhembus kencang juga kabar burung yang
selalu melayang-layang dalam benak pikiran sehingga entah bagaimana “burung”
tadi mendengar kabar, dengan ini kami sampaikan ucapan selamat untuk presiden
dan wakil presiden terpilih. Selamat, karena Allah Subhaanahu wa Ta’alaa telah
mentakdirkan Pak Jokowi dan Pak JK sebagai pasangan Presiden dan wakil Presiden
RI ke-7. Sungguh, jabatan presiden ini amatlah amanat yang sangat besar.
Ratusan juta rakyat Indonesia menaruh harapan kepada orang nomor satu dan nomor
2 di negeri ini.
Pelantikan Jokowi sebagai presiden ke-7 Republik
Indonesia, tidak terlepas dari gencarnya kampanye serta pencitraan yang
dilakukan oleh para pendukungnya. Salah satu jargon yang sering
digembar-gemborkan adalah mengenai revolusi mental. Revolusi mental dinilai
sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia saat ini. Hal ini tercermin dari
semakin banyaknya kemerosotan moral yang terjadi di negeri kita tercinta ini.
Hampir tiap hari, kasus–kasus kriminal menghiasi halaman-halaman surat kabar
serta sajian berita televisi.
Merujuk pada kamus besar bahasa Indonesia, revolusi
adalah tindakan perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang. Bahkan
dijelaskan dalam definisi utamanya, bahwa kata revolusi berarti perubahan
kondisi pemerintahan atau keadaan sosial yang dilakukan dengan kekerasan
seperti perlawanan bersenjata. Satu hal yang perlu kita garis bawahi dari
definisi diatas, bahwa kata revolusi identik dengan hal kekerasan dan senjata.
Lalu, jika dihubungkan dengan kata mental maka apakah berarti perubahan mental
seseorang itu harus dilakukan dengan tindak kekerasan dan senjata? Wow, betapa
seramnya jika anggapan saya ini ternyata memang benar terjadi.
Berkaca dari hal itu, efektivitas penerapan hukuman
dalam penegakkan disiplin hidup dengan mematuhi norma sosial dinilai masih
kurang efektif. Hal itu dapat dilihat dari masih munculnya dampak dan akibat
negatif yang ditimbulkan dari ketidaksenangan orang yang dihukum. Memang
sekilas, orang yang dihukum itu tegar dalam menghadapi hukuman yang ia terima.
Namun, pasti hati kecilnya memberontak karena tidak mau menerimanya. Lalu,
sebetulnya faktor apa sih yang dapat mewujudkan manusia yang benar-benar “bermental”?
Mematuhi aturan erat kaitannya dengan kedisiplinan.
Nah, untuk menegakkan disiplin secara efektif diperlukan adanya role model yang memberikan contoh
keteladanan dalam membangun mental. Artinya jika kita ingin melakukan perubahan
mental, maka hal itu perlu dilakukan secara massif dan terstuktur. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam telah
memberikan kita uswah hasanah (teldan
yang baik) dalam berbagai bidang kehidupan. Betapa banyak lawan yang beliau
miliki yang kemudian berubah haluan menjadi kawan. Hal itu, dikarenakan betapa
agungnya akhlak dan budi pekerti beliau yang selalu beliau tampilkan ketika
berinteraksi dengan semua orang yang beliau temui.
Oleh karena itu, bertepatan dengan suasana tahun
baru hijriah ini mari kita sama-sama behijrah. Hijrah yang bukan semata-mata
melakukan perubahan diri dengan revolusi, namun hijrah yang benar-benar
datangnya dari hati. Mari kita hijrahkan intelektual kita agar ilmu kita lebih
bermanfaat untuk masyarakat. Ayo kita hijrahkan emosional kita agar lebih
empati terhadap sesama. Yuk kita hijrahkan spiritual kita, agar tidak hanya
hidup di tempat ibadah saja melainkan dapat diaplikasikan dalam tiap persoalan
hidup kita kapanpun dan dimana pun. Dengan hijrahnya mental intelektual, mental
emosional dan mental spiritual kita ke
arah yang lebih bersifat sosial, mudah-mudahan hal itu dapat membentuk karakter
kepribadian yang tangguh dan bertakwa sebagaimana kaum muhajirin yang rela
meninggalkan harta dan sanak keluarga mereka di Makkah menuju kota Madinah yang
penuh cahaya iman dan ukhuwwah. Mari berhijrah!
Ditulis Oleh Alauddin Naufal. A.
Anggota HMI Cabang Bogor
Komisariat stei tazkia