Bermula dari
renungan saya dan kawan-kawan akan fenomena menggelitik yang dialami bangsa
kita ini. Ketika membayangkan sosok pembantu, pernahkah muncul dalam benak kita
gambaran sosok orang asing khususnya Barat yang berperan sebagai pembantu
lengkap dengan sapu dan peralatan bersih-bersih rumahnya? Atau pernah kah
terbayang dalam benak kita orang barat yang menjadi buruh di ladang atau kebun
manakala kita membayangkan sosok seorang buruh? Hampir setiap dari kawan-kawan
mengatakan tidak pernah termasuk saya. Selalu yang muncul dalam benak kami
ketika sedang membayangkan pembatu adalah orang-orang sumatera, jawa dan lain
sebagainya.(maaf bukan rasis)
Ketika pulang
dari berwisata acapkali kita begitu bangganya menunjukkan oleh-oleh berupa foto
kita dengan orang bule. Mungkin dalam benak kita orang bule itu hebat semua
sehingga muncul perasaan ‘wah’ ketika bertemu dengan mereka sekalipun bule kampung.
Sehingga rasanya tidak pantas jika bule itu digambarkan dengan sosok pembantu
karena pembantu adalah kaum yang terpinggirkan. Dan kami sepakat bahwa kita ini
sedang terkena hipnotis masal. Dibuat tidak sadar sehingga betah menjadi kacung
dengan sifat-sifat inlander yang melekat pada diri kita. Mungkin inilah yang
disebut dengan “Kelaziman dalam kelainan” yang sering dibahas di kelas pada
mata kuliah Metodologi penelitian. Maka tak heran jika kita sering kalah duluan
ketika berhadap-hadapan di forum-forum negosiasi. Bisa jadi ini bermula dari
sifat minder yang telah mengakar secara kultural.
Berangkat dari
renungan terebut saya tergelitik untuk mengenal lebih jauh perihal karyawan
bagian kebersihan yang ada di kampus atau yang
dikenal dengan sapaan ‘OBE’ seperti yang kawan-kawan mahasiswa sering sebutkan
ketika memberi inisial kepada mas-mas atau mbak-mbak yang bepakaian biru dengan
perpaduan celana bahan warna hitam yang sering bolak balik membersihkan
lingkungan kampus.
Karyawan kampus yang bergerak di bidang kebersihan ada 8 orang yang berasal dari salah
satu lembaga out sourching golongan putih (syariah). Pengistilahan out
sourching putih dan hitam saya dapatkan ketika mengikuti kajian ‘kakap
progres’ karena yang di undang pada saat itu kebetulan CEO out sourching putih.
Dari informasi yang saya peroleh dari karyawan kampus. OBE kampus memperoleh gajih perharian, yakni sebesar Rp. 30.000/hari. Dengan
kata lain dalam sebulan OBE kampus menerima gajih
senilai Rp. 900.000 dengan jam kerja dari jam 6 pagi sampai habis ashar.
Kehidupan OBE
dengan gajih tersebut cobalah kita bandingkan dengan kehidupan kita sebagai
mahasiswa yang berada di kawasan Sentul City. Dalam sehari semalam biasanya
kita makan 3 kali sehari. Jika di asumsikan sekali makan tujuh ribu maka kita
menghabiskan Rp. 21.000. itu baru kebutuhan makan. Coba bayangkan dengan
kehidupan OBE yang sudah memiliki keluarga. Berapa seharusnya uang yang
mereka butuhkan agar kebutuhan mereka tercukupi. bagaimana mereka berhemat
biaya pendidikan, bensin, listrik, rumah dan sejenisnya? Nampaknya kita harus
banyak banyak bersyukur sebagai mahasisa yang masih di subsidi orang tua.