HMI
komisariat STEI Takia masih terbilang bocah untuk ukuran keluarga HMI cabang
bogor. Komisariat yang lahir pada hari jum’at tanggal 10 Oktober 2014 ini
sebelumnya menginduk di HMI komisariat perikanan dan ilmu kelautan IPB (FPIK).
Karena salah satu pendahulu kader Tazkia, Bung Imam Hasanul berproses di
komisariat tersebut sebelum hadirnya Komisariat Tazkia. Sehingga terukirlah di
kanvas sejarah HMI Bogor bahwa telah tercipta hubungan darah antara komisariat FPIK
IPB dan komisariat STEI Tazkia. Sehingga mau tidak mau, ketika kita berbicara
komisariat Tazkia kita juga akan bersinggungan dengan komisariat yang
mangasuhnya hingga kurun waktu 2 Tahun lamanya, yakni komisariat Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
HMI
komisariat Tazkia di awal kepengurusannya diketuai oleh cak Amou yang terpilih
dari hasil musyawarah perdana, tepatnya di kediaman Shofi dan Bilal.
Komsisariat ini nampaknya agak ganjil dibanding komisariat-komisariat yang
lain. Pasalnya, dengan indentitas sebagai kampus pelopor ekonomi syariah secara
tak langsung memberikan corak tersendiri tentang warna komisariat Tazkia ini,
yakni komisariat dengan corak ekonomi Robbani atau ekonomi ketuhanan. Ini baru sebatas hipotesis awal. Kita lihat
kedepannya, apa kultur yang akan muncul dari HMI poros Sentul ini. Berada di
tengah tatanan kapitalis yang kokoh, perumahan elit di perbukitan **ntul.
Akankah dia merupakan stereotip dari nabi Musa masa kini, sang bayi yang
dibesarkan di istana Fir’aun.
Pada
awal terbentuknya, kurang lebih ada sekitar 30 kader aktif yang menjadi
penggerak roda organisasi. Disampingn itu ada satu budaya yang memang sudah
terbangun jauh sebelum komisariat disahkan dan diketuk palu, yakni kajian
‘SOTOY’. Kajian yang telah memperkenalkan para kader dengan sifat percaya diri
dalam melontarkan pendapat, gagasan, maupun ide. Kajian ini dilakukan sekali
dalam sepekan dengan pengatar diskusi yang digilir dari setiap kader. Harus
diakui bahwa salah satu akar ketertinggalan bangsa kita adalah minim rasa
percaya diri dan takut bersalah. Inilah alasan mengapa kajian SOTOY dihadirkan.
Tak lebih sebagai anti tesis dari permasalahan di atas. Karena antara mereka
yang tahu dan tidak tahu memang susah dibedakan. Semakin dia tahu, semakin
bodoh lah dia. Sehingga mau tidak mau, ketika kita telah mengetahui kebodohan
kita, lambat laun kita akan bergerak mencari jawabannya. Dan proses inilah yang
akan membentuk kita menjadi insan pembelajar, life long education. Meminjam istilah Tan Malaka, terbentur, terbentur,
hingga akhirnya terbentuk.
Tentu
dengan hadirnya HMI komisariat STEI Tazkia ini, diharapkan bisa memberikan
warna yang berbeda di HMI cabang bogor. Setidakya dinamika antar kader bisa terpantik
dengan hadirnya komisariat Tazkia ini, yang nantinya juga akan berdampak pada
perkembangan dan dialektika di tubuh HMI cabang Bogor yang memang agak
berkurang akhir akhir ini. Praktis semenjak HMI korkom Universitas Ibnu Kholdun
memisahkan diri menjadi cabang baru, dinamika di HMI cabang bogor mulai sedikit
meredup. Hal ini ditenggarai oleh kader-kader yang berproses di dalamnya hanya
berasal dari ruang lingkup yang homogen, yakni cuma kampus IPB. Secara tak
langsung kehadiran HMI komisariat STEI Tazkia ini menjadi jawaban dari proses
kekeringan dialektika di keluarga HMI cabang bogor. Semoga.
Perkaderan
di tubuh HMI ini tersebar dan terbentang di seluruh cabang di indonesia dari
sabang sampai merauke, kurang lebih ada sekitar 20 BADKO (Badan Koordinasi)
yang menyebar di beberapa wilayah di kepualauan Nusantara ini. sedangkan Jumlah
seluruh cabang di Indonesia ada 187 dengan rata-rata komisariat 10 setiap
cabangnya. Dan di HMI cabang Bogor sendiri dengan bertambahnya HMI komsariat
Tazkia ini, maka ada 10 komisariat dan juga akan segera menyusul komisariat fakultas
Ekologi Manusia IPB.
Komisariat
yang disahkan di Gedung Serba Guna Mahasiswa Islam ini merupakan komisariat
yang akan mengakomodir gerakan perkaderan di kampus STEI Tazkia. Semakin banyak
komisariat dengan latar belakang ilmu pengatahuan yang berbeda setidaknya akan
menjadi keunggulan tersediri bagi kader HMI. Karena dengan kader HMI yang
heterogen secara tak langsung akan menciptakan proses transfer ilmu pengetahuan
yang beragam pula. Jika kita berbicara nilai lebih HMI, mau tidak mau kita
harus berkaca kepada sesuatu yang kita sebut dengan ‘sejarah’. Pada tahun 60-an
kenapa himpunan kita ini banyak dilirik oleh mahasiswa kala itu, salah satunya
karena lingkaran pergaulan kader HMI yang begitu luas. Setidaknya pada kongres
HMI yang pertama tahun 1957 sudah ada 4 cabang yang berasal dari kota sekitar Jogya.
Untuk ukuran zaman itu, ini sudah melampaui zamannya karena belum ada media
komunikasi seperti sekarang. Tak heran jika di HMI ini kita sering mendengar
semboyan “Di HMI kita berteman lebih dari saudara”, karena memang begitulah
yang di alami oleh pendahulu-pendahulu kita. Saat dimana mahasiswa lain masih
terkungkung oleh pergaulan di tingkat kampus, kader HMI sudah melanglang buana
kesana kemari. Bersilaturrahmi ke tempat kawan-kawan se-Indonesia.
HMI
merupakan organisasi yang memelihara tradisi intelektual dengan tiga budaya
yang melekat padanya, yakni baca, tulis dan diskusi. Aktualisasi
peran intelektual mereka menyebar di berbagai media masa. Karenanya tidak aneh kalau
sebagian dari aktivis HMI cukup terbiasa menuangkan pikiran-pikiran dalam
sebuah tulisan.
Gairah intelektual ini berasal dari berbagai aktivitas dan
interaksi dengan sesama
kader. Di HMI inilah mereka berkumpul dan berdiskusi dalam segala hal,
saling mentrasformasikan hasil bacaan dan pemahamannya yang didapat dari
buku-buku dan informasi lain.Walau
kita juga harus jujur bahwa akhir-akhri ini mainstream itu sudah mulai memecah
haluan ke ranah politis. Hal ini ditandai dengan respon otomatis masyarakat
awam ketika mendengar nama HMI, “organisasi politik”. Lagi-lagi beginilah HMI,
sebuah organisai yang menawarkan hidangan prasmanan kehidupan, sesuai dengan
fitrah kehidupan toh.
Menyikapi
hal tersebut kita bisa berkaca pada HMI cabang Ciputat periode 80-an. Dimana
mereka membuat gerakan kultural sebagai tandingan terhadap hasrat politik
tersebut dengan mendirikan kelompok studi. Pada saat itu, tercatat kelompok
studi semisal Formaci, Dialektika, Flamboyan dan kelompok-kelompok sejenisnya
yang menjadi alternatif dalam ber-HMI.
Banyak
para alumni atau mungkin para kader HMI sendiri, berpandangan bahwa HMI
sekarang ibarat macan tua yang sudah ompong, masa stagnasi, masa menopouse,
atau masa-masa sejenisnya yang menggambarkan HMI sebagai sosok organisasi yang
sudah mulai melemah gaungnya. Pandangan ini secara keseluruhan tentulah berasal
dari perbandingan dengan masa-masa sebelumnya, masa dimana HMI berada di puncak
kejayaanya. Biarlah berbagai pernyataan itu berlalu. Namun satu hal yang
menyeruak ke permukaan saat ini bahwa kita dilahirkan pada saat-saat dimana
kita memang dituntut untut berjuang, berjuang menghidupakan kembali nilai-nilai
HMI yang bermaindset ke-islaman, ke-indonesian, dan ke-mahasiswaan. Jangan
sampai semangat yang sedang On Fire
ini mati muda. Fenomena ini semakin menemukan momennya manakala kita hadir
dengan semangat untuk membangun HMI secara kultural di bumi Tazkia. HMI yang
membudaya sampai ke titik terdalam sebuah jangakuan perkaderan. Pada akhirnya
kita juga harus berkata secara sadar, bahwa semangat juga harus berakhir pada
tindakan, tidak hanya berhenti pada kata-kata. YAKUSA!!!
Ditulis oleh Joni Iskandar
Kader HMI Cabang Bogor
Komisariat STEI Tazkia
kanda alamat blog saya bisa diperbaiki?
BalasHapusrohmatullahadny.blogspot.com
dengan huruf kecil semua