Dunia mahasiswa merupakan dunia
coba-coba. Dimana bung Rhoma pernah berkata bahma masa muda adalah masa
berapi-api. Ya.. itulah persisnya dunia mahasiswa. Segala sesuatu seakan merayu
untuk minta diselami. Tentu bagi mahasiswa yang sangat aktif di dunia pergerakan
akan dengan senang hati meladeni rayuan rayuan tersebut. Sibuk kesana-kemari
memenuhi panggilan ide dan kegiatan. Mereka inilah yang di kampus digelari
dengan sematan ‘aktivis’.
Mendengar kata aktivis, secara
tidak langsung opini masyarakat akan tergiring pada sosok mahasiswa abadi atau
sosok mahasiswa tingkat akhir yang tidak tahu kapan masa kuliahnya akan
berakhir. Tidak bisa disalahkan, memang begitulah opini yang terbangun.
Mahasiswa aktivis adalah mahasiswa yang bermasalah dengan jadwal
perkuliahannya. Terlalu sibuk dengan dunia aksi dan wacana sehingga kuliahnya
sendiri terbengkalai.
Sekali lagi, tak ada yang salah
dengan dunia aktivis. Namun yang perlu dicamkan bahwa kita punya tanggung jawab
pada orang tua untuk sesegera mungkin merengkuh gelar sarjana, karena itulah
yang menjadi harapan orangtua ketika pertama kali kita menapaki dunia
perkuliahan. Toh jika belum mampu membantu keluarga pasca wisuda, minimal kita
sudah mengurangi beban keluarga. Haha dilema memang.
Di sisi lain, sebagai seorang
aktivis tentu kita mempunyai alasan yang kuat dari setiap aktifitas yang kita
lakoni. Ya... begitulah sejatinya seorang mahasiswa. Sosok yang paling mudah
mencari pembenaran. Guahahhaha... kau tengok saja di forum-forum debat atau
wacana. Betapa lihainya mereka mengemukakan alasan dari setiap wacana publik
yang mereka lemparkan. Atau ketika mencari rasionalisasi dari setip kesalahan
yang ditimpakan pada mereka. Dalam bahasa sederhana “aktivis mahasiswa itu
selalu benar”. Di tingkat pertama sampai kurun waktu 4 tahun kemudian,
idealisme itu masih terus mereka pelihara. Baru kemudian di tingkat 5, mereka
mulai meragukan landasan dunia aktivis mereka. Dimana kawan-kawan satu angkatan
sudah mulai meninggalkan bangku perkuliahan dan telah merengkuh gelar sarjana.
Si aktivispun mulai gelisah. Karena pertanyaan dalam bentuk gugatan mulai
melanda. Lebih-lebih dari kedua orangtua. “ Nak... Kapan kamu wisuda?” Deg...
aktivispun mulai menyadari, selain punya tanggung jawab di dunia pergerakan
serta kewajiban mengabdi pada masyaraat (beuh, ngeuuurri yeuh bahasanya), mereka
juga punya tanggung jawab yang tak kalah besarnya pada kedua orangtua.
Yup, kesimpulan singkat sebagai
pamungkas dari tulisan ini, Betapun sibuk kita dengan dunia organisasi, kuliah
jangan diabaikan. Jika mahasiswa terkenal sebagai agen of change, mari kita
maknai kalimat tersebut dengan merubah stigma, bahwa aktivis itu kuliahnya
pasti lama. Kita mulai bangun budaya bahwa aktivis juga bisa tepat waktu dalam
menyelesaikan kuliahnya. Setidaknya ada
kelebihan yang terkandung di dalamnya. Pertama, ketika proses
perkuliahan tepat waktu, secara tak langsung akan berdampak juga pada proses
lancarnya regenerasi perkaderan organisasi.
Yok, segera kita bunuh satu
persatu kewajiban kita sebagai mahasiswa tingkat akhir. Minimal sekarang kita
sudah menentukan judul skripsi yang mau kita teliti. Berlanjut ke bab 1, 2, 3,
dan seterusnya. Sudah saatnya para mahasiswa aktivis menjadi teladan. Hal ini
sesuai dengan pesan yang tercantum dalam tujuan HMI. “ terbinanya insan
akademis”. Semangat produktif kanda, yunda dan adinda sekalian...
Bagus... Tunjukkan keaktivisannya dengan tetap aktif dan tetap berprestasi dalam akademiknya...
BalasHapus