Kamis, 18 Desember 2014

MENAKAR KEBIJAKAN PARKIR KAMPUS BERBAYAR




Kepentingan kelompok tentulah harus berada di atas kepentingan-kepentingan individu. Kalangan akar rumput musti menselaraskan dan menciptakan komunikasi dua arah demi mencapai titik-titik kepentingan yang dianggap milik bersama. Tak ada yang boleh menculasi antar satu sama lain bila tidak mau dikatakan sebagai tirani-tirani yang membelenggu kehidupan bersosial. Dengan demikian, sewajarnyalah  kaca mata yang harus kita pakai adalah kaca mata burung agar bisa memahami fenomena dari atas, bukan dari balik tempurung.

Beberapa hari ini, tentu kita sudah tak asing dengan isu akan diberlakukannya sistem parkir kendaraan berbayar di kampus. Entah apakah ini bertujuan untuk kemaslahatan bersama sebagai pengejawantahan dari nilai-niali ekonomi Rabbani seperti yang sering didengung dengungkan di kelas atau hanya sekedar sarana mengeruk keuntungan belaka. Namun yang jelas, jika pertanyaan ini tidak mendapatkan jawaban yang tepat, dia akan mengkristal menjadi sebait persepsi yang yang bercokol di benak mahasiswa atas pemberlakuan kebijakan ini. Tentulah kebijakan yang terkesan kapitalis ini menuai begitu banyak kontra dari kalangan mahasiswa. Beribu kalimat dan berderet retorika yang berhaluan satu, yakni penolakan terhadap kebijakan tersebut, lahir bagai jamur di musim hujan.

Lantas, bagaimana kebijakan yang terkesan dipaksakan ini bisa lahir di STEI Tazkia? Pertama, jika yang menjadi alasan adalah beberapa kasus kehilangan yang pernah terjadi di Tazkia. Tetap saja selaku mahasiwa kita belum menemukan logika yang pas jika dikaitakan dengan penerapan parkir bebrbayar tersebut. Bukankah yang menjadi titik point dari pemberlakuan tersebut adalah keamanan. Berarti kuncinya harus ada tanda pengenal agar motor yang keluar masuk sesuai dengan yang punya kendaraan. Artinya kita tidak perlu membayar parkir toh, selagi kita bisa membuktikan bahwa kendaraan yang kita bawa memang benar kendaraan kita. 

Tidak cukupkah dengan stiker pengenal yang sudah dipakai di tiap tiap motor mahasiswa. Bukankah dengan pemakaian stiker tersebut Kampus juga sudah mendapatkan jasa iklan berjalan secara gratis. Jika yang kita pakai adalah logika kapitalis tentu kita tidak akan puas dengan keuntungan yang kita terima. “dengan modal yang sekecil-kecilnya harus dapat untung yang sebesar-besarnya”. Yups.. begitulah kurang lebih landasan dasarnya.

Kedua, jika alasan yang dipakai karena seringnya ada pengunjung-pengunjung ilegal yang numpang parkir di kampus. Kenapa harus mahasiswa yang merasakan imbasnya. Mahasiswa yang punya kampus, seperti bertamu di rumah sendiri. tentu yang menjadi titik point disini adalah komunikasi. Beritahu mereka bahwa parkiran Andalusia Cuma untuk mereka-mereka yang ingin sholat dan kuliah. Persoalan mereka mendengarkan atau tidak itu merupakan bagian dari resiko dan tanggung jawab dalam pekerjaan. Toh, jika pada kenyataannya pihak kampus mempersilahkan siapapun boleh parkir di kampus, artinya pihak manajemen juga berkeinginan mencari cela profit disini. Ya silahkan saja, asal jangan yang punya rumah diminta uang parkir juga.

Ketiga, jika alasan yang dipakai demi kenyamanan dan keamanan yang punya kendaraan, sehingga dianggap perlu memungut biaya parkir. Dimana-mana kita harus memenuhi kewajiban dahulu, baru bisa memperoleh hak. Memberikan pelayanan dan fasilitas dulu baru menerima kompensasi, bukan  malah sebaliknya. Fasilitas dalam artian kanopi atau atap dan hal hal yang mendukung lainnya. Andaikata memang ini yang menjadi alasannya. Kenapa kita mau begitu sibuk dan riweuh beud mengurusi hal yang berkaitan dengan fasilitas seperti ini. Apakah tidak lebih bagus jika kita menyibukkan diri mencari solusi dari kadar intelektual para mahasiswa yang cenderung statis (termasuk yang nulis, hehe), lebih-lebih para pengajarnya yang belum mampu menyampaikan materi dengan baik atau buku-buku perpustakaan yang kurang lengkap, absen finger print yang konon kabarnya hanya diadakan menjelang akreditasi saja, merumuskan silabus dan literasi-literasi pemasaran dan akuntansi yang memang benar-benar sesuai dengan ajaran islam yang sesungghunya, serta masih banyak hal hal lain yang kiranya lebih penting ketimbang parkir berbayar.

Sebagai pamungkas dari tulisan ini saya ingin mengutip perkataan Pramoedya, “Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain, tapi harus semakin mengenal batas.” Semoga sang pemangku kebijakan tahu batasan-batasan dari setiap kebijakan yang dibuat tanpa mencederai periuk nasi mahasiswa. Hehehe

Ditulis oleh Joni Iskandar
Kader HMI cabang Bogor 
Komisariat STEI Tazkia


2 komentar: