Kepentingan kelompok tentulah harus berada di atas kepentingan-kepentingan individu. Kalangan akar rumput musti menselaraskan dan menciptakan komunikasi dua arah demi mencapai titik-titik kepentingan yang dianggap milik bersama. Tak ada yang boleh menculasi antar satu sama lain bila tidak mau dikatakan sebagai tirani-tirani yang membelenggu kehidupan bersosial. Dengan demikian, sewajarnyalah kaca mata yang harus kita pakai adalah kaca mata burung agar bisa memahami fenomena dari atas, bukan dari balik tempurung.
Beberapa hari ini, tentu kita sudah tak asing dengan isu akan
diberlakukannya sistem parkir kendaraan berbayar di kampus. Entah apakah ini
bertujuan untuk kemaslahatan bersama sebagai pengejawantahan dari nilai-niali
ekonomi Rabbani seperti yang sering didengung dengungkan di kelas atau hanya
sekedar sarana mengeruk keuntungan belaka. Namun yang jelas, jika pertanyaan
ini tidak mendapatkan jawaban yang tepat, dia akan mengkristal menjadi sebait
persepsi yang yang bercokol di benak mahasiswa atas pemberlakuan kebijakan ini.
Tentulah kebijakan yang terkesan kapitalis ini menuai begitu banyak kontra dari
kalangan mahasiswa. Beribu kalimat dan berderet retorika yang berhaluan satu,
yakni penolakan terhadap kebijakan tersebut, lahir bagai jamur di musim hujan.
Lantas, bagaimana kebijakan yang terkesan dipaksakan ini bisa lahir
di STEI Tazkia? Pertama, jika yang menjadi alasan adalah beberapa kasus
kehilangan yang pernah terjadi di Tazkia. Tetap saja selaku mahasiwa kita belum
menemukan logika yang pas jika dikaitakan dengan penerapan parkir bebrbayar
tersebut. Bukankah yang menjadi titik point dari pemberlakuan tersebut adalah
keamanan. Berarti kuncinya harus ada tanda pengenal agar motor yang keluar
masuk sesuai dengan yang punya kendaraan. Artinya kita tidak perlu membayar
parkir toh, selagi kita bisa membuktikan bahwa kendaraan yang kita bawa memang benar
kendaraan kita.
Tidak cukupkah dengan stiker pengenal yang sudah dipakai di tiap
tiap motor mahasiswa. Bukankah dengan pemakaian stiker tersebut Kampus juga sudah
mendapatkan jasa iklan berjalan secara gratis. Jika yang kita pakai adalah
logika kapitalis tentu kita tidak akan puas dengan keuntungan yang kita terima.
“dengan modal yang sekecil-kecilnya harus dapat untung yang sebesar-besarnya”.
Yups.. begitulah kurang lebih landasan dasarnya.
Kedua, jika alasan yang dipakai karena seringnya ada pengunjung-pengunjung
ilegal yang numpang parkir di kampus. Kenapa harus mahasiswa yang merasakan
imbasnya. Mahasiswa yang punya kampus, seperti bertamu di rumah sendiri. tentu
yang menjadi titik point disini adalah komunikasi. Beritahu mereka bahwa
parkiran Andalusia Cuma untuk mereka-mereka yang ingin sholat dan kuliah.
Persoalan mereka mendengarkan atau tidak itu merupakan bagian dari resiko dan
tanggung jawab dalam pekerjaan. Toh, jika pada kenyataannya pihak kampus
mempersilahkan siapapun boleh parkir di kampus, artinya pihak manajemen juga
berkeinginan mencari cela profit disini. Ya silahkan saja, asal jangan yang
punya rumah diminta uang parkir juga.
Ketiga, jika alasan yang dipakai demi kenyamanan dan keamanan yang
punya kendaraan, sehingga dianggap perlu memungut biaya parkir. Dimana-mana kita
harus memenuhi kewajiban dahulu, baru bisa memperoleh hak. Memberikan pelayanan
dan fasilitas dulu baru menerima kompensasi, bukan malah sebaliknya. Fasilitas dalam artian
kanopi atau atap dan hal hal yang mendukung lainnya. Andaikata memang ini yang
menjadi alasannya. Kenapa kita mau begitu sibuk dan riweuh beud
mengurusi hal yang berkaitan dengan fasilitas seperti ini. Apakah tidak lebih
bagus jika kita menyibukkan diri mencari solusi dari kadar intelektual para
mahasiswa yang cenderung statis (termasuk yang nulis, hehe), lebih-lebih para
pengajarnya yang belum mampu menyampaikan materi dengan baik atau buku-buku
perpustakaan yang kurang lengkap, absen finger print yang konon kabarnya hanya
diadakan menjelang akreditasi saja, merumuskan silabus dan literasi-literasi
pemasaran dan akuntansi yang memang benar-benar sesuai dengan ajaran islam yang
sesungghunya, serta masih banyak hal hal lain yang kiranya lebih penting
ketimbang parkir berbayar.
Sebagai pamungkas dari tulisan ini saya ingin mengutip perkataan
Pramoedya, “Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan
orang lain, tapi harus semakin mengenal batas.” Semoga sang pemangku kebijakan
tahu batasan-batasan dari setiap kebijakan yang dibuat tanpa mencederai periuk
nasi mahasiswa. Hehehe
Ditulis oleh Joni Iskandar
Kader HMI cabang Bogor
Komisariat STEI Tazkia
http://rohmatullahadny.blogspot.in/2014/12/kampus-parkir-berbayar-why.html?m=1
BalasHapusgooooood
BalasHapus