Minggu, 04 Oktober 2015

KEPEMIMPINAN DALAM BINGKAI WADIAH



Secara fitrah manusia merupakan makhluk yang sempurna “ laqad khalaqnal insana fi ahsani taqwim”  dan diantara makhluk yang ciptakan oleh Allah swt hanya manusia yang diberi amanah untuk memanej  urusan dunia “ inni ja’iluka fil ardhli khalifah” entah kenapa yang dipilih adalah manusia padahal manusia tidak taat taat amat kepada tuhannya.
Dan itu pula yang dipikir oleh para malaikat saat Allah punya rencana menjadikan manusia “ataj’alu fihaa man yufsidu fihaa wa yasfikud dima’?  manusia bisanya hanya merusak dan melakukan peperangan itu yang ada dalam benak para malaikat waktu itu, akan tetapi Allah punya rahasia yang tidak diketahui oleh para malaikat tentang apa yang akan Allah anugrahkan kepada makhluk bernama manusia itu “innii a’lamu bimaa laa ta’lamuun”, secara sederhana namun penuh makna alquran menceritakan kisah pencitaan manusia pertama bernama Adam as dan apa yang tidak diketahui para malaikat itu pun terjawab, karena malaikat tidak bisa menyebutkan nama-nama yang oleh adam sebutkan dan malaikatpun mengakui kebesaran dan kekuasaan allah dengan bersujud. Saat pertama kali mendengar cerita ini dari ustadz , guru ngaji waktu kecil , penulis berfantasi mungkin waktu itu suasananya kayak cerdas cermat, atau lomba adu kecerdasan. Bagaimana bentuk asli kejadian itu hanya Allah yang tahu kita hanya bisa membaca dan mendabburi serta meyakini adanya peristiwa itu dan yang tak kalah penting adalah mengambil hikmah dibalik kisah yang ceritakan dalam al-quran tersebut.
Sedari awal manusia memang sudah di rencanakan mengemban amanah yang sangat berat sampai sampai langit , bumi dan gunung-gunung pun enggan membawa amanah itu, mereka hawatir berkhianat (al-ahzab; 72). Jadi tidak heran jika Allah menjadikan amanah sebagai tanda orang-orang yang beriman dan di janjikan surga firdaus bagi mereka, dan mereka kekal didalamnya (al-mukminun; 10-11).
Dalam fiqh muamalah konsep amanah ini dijadikan pijakan dalam salah satu akad yang kita kenal dengan “wadiah” atau deposit. Secara terminologi wadiah memiliki dualisme pengertian, pertama wadiah sebagai barang titipan (muda’). Dan kedua, wadiah diartikan sebagai sebuah kontrak penjagaan atas barang tertentu yang kita kenal dengan istilah penitipan (ida’), secara subtansial menurut terminlogi kedua, wadiah adalah bentuk wakalah berupa penjagaan berang secara tertentu.[1] Apabila kita tarik konsep wadiah ini kearah pemerintahan sebagai wakil rakyat, entah itu jadi president mentri atau DPR  maka akan banyak kesamaan. Pemerintah sabagai wakil rakyat merupakan orang yang diberi amanah oleh rakyat untuk mengatur dan menjalankan roda kehidupan negara agar mencapai kesejahteraan bagi rakyatnya. 
Kembali ke wadiah, secara hukum taklifi , menerima wadiah ada 5
1.      Sunnah
ketika orang yang dititipi memeliki kemampuan menjaga titipan, percaya diri bisa menjaga sifat amanah dirinya dan masih ada orang lain yang bisa dititipi yang juga layak menerimanya.
2.      Wajib
ketika orang yang dititipi memeliki kriteria diatas (nomer 1) dan tidak ada orang lain yang amanah, akan tetapi, hukum wajib disini hanya dalam pengertian, sebatas menerima titipan (ashlu al-qabul), bukan sekaligus wajib memberikan pengorbanan ekonomis. Artinya, orang yang dititpi wajib menerima, namun kerugian ekonomis yang ia derita akibat menjaga titipan, tidak wajib ia berikan secara gratis, sehingga ia tetap berhak menuntut ganti rugi kepada pihak yang menitipkan. Konsekuensi hukum wajib ini adalah, berdosa jika menolaknya, akan tetapi tidak ada kewajiban bertanggung jawab apabila barang titipan mengalami kerusakan akibat penolakannya.[2]
3.      Makruh
yaitu orang yang memiliki karakter amanah pada saat menerima titipan, namun tidak percaya diri bisa mempertahankan sifat amanahnya.
4.      Haram
ketika seseorang mengetahui dirinya tidak mampu menjaga titipan, sebab akan menyia-nyiakan harta.
5.      Mubah
ketika seseorang tidak percaya diri akan mampu mempertahankan sifat amanahnya, atau tidak mempu menjaga titipan dan orang yang menitipkan mengetahui keadaan tersebut, namun tetap menitipkan kepadanya[3]
Itu hukum orang yang menerima titipan (wadiah), dari penjelasan diatas bisa kita tarik kesimpulan, bahwa saat menerima titipan amanah apapun itu bentuknya baik itu barang yang berfisik atau tidak, harta ataupun jabatan kita harus tahu dimana posisi kita saat itu ? dalam posisi wajibkah , sunahkah , makruhkah, mubahkah atau haram menerimanya. Tentu itu yang tahu adalah diri kita sendiri, istafti qalbak ! Begitupula orang yang memberikan amanah harus selektif dalam menitipkan barangnya jangan sembarangan (QS. Annisa’ ; 58) sehingga apa yang dititipkan terjaga dan tetap utuh , bila tidak demikian fantandiri assa’ah “ tungglah kehancurannya.

Sentul, Bogor 05 oktober 2015 06.49 wib
Muhammad Shofi 
Mahasiswa Stei Tazkia Jurusan Hukum Bisnis Islam 



[1] Fiqh alminhaji juz 3/241
[2] Nihayatul muhataz juz 6/111-112
[3] Fiqh alminhaji juz 3/243-244
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar