Secara
fitrah manusia merupakan makhluk yang sempurna “ laqad khalaqnal insana fi
ahsani taqwim” dan diantara makhluk
yang ciptakan oleh Allah swt hanya manusia yang diberi amanah untuk
memanej urusan dunia “ inni ja’iluka
fil ardhli khalifah” entah kenapa yang dipilih adalah manusia padahal
manusia tidak taat taat amat kepada tuhannya.
Dan itu pula yang dipikir oleh
para malaikat saat Allah punya rencana menjadikan manusia “ataj’alu fihaa
man yufsidu fihaa wa yasfikud dima’? manusia bisanya hanya merusak dan melakukan
peperangan itu yang ada dalam benak para malaikat waktu itu, akan tetapi Allah
punya rahasia yang tidak diketahui oleh para malaikat tentang apa yang akan
Allah anugrahkan kepada makhluk bernama manusia itu “innii a’lamu bimaa laa
ta’lamuun”, secara sederhana namun penuh makna alquran menceritakan kisah
pencitaan manusia pertama bernama Adam as dan apa yang tidak diketahui para
malaikat itu pun terjawab, karena malaikat tidak bisa menyebutkan nama-nama
yang oleh adam sebutkan dan malaikatpun mengakui kebesaran dan kekuasaan allah
dengan bersujud. Saat pertama kali mendengar cerita ini dari ustadz , guru
ngaji waktu kecil , penulis berfantasi mungkin waktu itu suasananya kayak
cerdas cermat, atau lomba adu kecerdasan. Bagaimana bentuk asli kejadian itu
hanya Allah yang tahu kita hanya bisa membaca dan mendabburi serta meyakini
adanya peristiwa itu dan yang tak kalah penting adalah mengambil hikmah dibalik
kisah yang ceritakan dalam al-quran tersebut.
Sedari
awal manusia memang sudah di rencanakan mengemban amanah yang sangat berat
sampai sampai langit , bumi dan gunung-gunung pun enggan membawa amanah itu,
mereka hawatir berkhianat (al-ahzab; 72). Jadi tidak heran jika Allah
menjadikan amanah sebagai tanda orang-orang yang beriman dan di janjikan surga
firdaus bagi mereka, dan mereka kekal didalamnya (al-mukminun; 10-11).
Dalam
fiqh muamalah konsep amanah ini dijadikan pijakan dalam salah satu akad yang kita
kenal dengan “wadiah” atau deposit. Secara terminologi wadiah memiliki
dualisme pengertian, pertama wadiah sebagai barang titipan (muda’). Dan kedua,
wadiah diartikan sebagai sebuah kontrak penjagaan atas barang tertentu yang
kita kenal dengan istilah penitipan (ida’), secara subtansial menurut
terminlogi kedua, wadiah adalah bentuk wakalah berupa penjagaan berang
secara tertentu.[1]
Apabila kita tarik konsep wadiah ini kearah pemerintahan sebagai wakil
rakyat, entah itu jadi president mentri atau DPR maka akan banyak kesamaan. Pemerintah sabagai
wakil rakyat merupakan orang yang diberi amanah oleh rakyat untuk mengatur dan
menjalankan roda kehidupan negara agar mencapai kesejahteraan bagi
rakyatnya.
Kembali
ke wadiah, secara hukum taklifi , menerima wadiah ada 5
1.
Sunnah
ketika orang yang dititipi memeliki kemampuan menjaga titipan, percaya diri bisa menjaga sifat amanah dirinya dan masih ada orang lain yang bisa dititipi yang juga layak menerimanya.
ketika orang yang dititipi memeliki kemampuan menjaga titipan, percaya diri bisa menjaga sifat amanah dirinya dan masih ada orang lain yang bisa dititipi yang juga layak menerimanya.
2.
Wajib
ketika orang yang dititipi memeliki kriteria diatas (nomer 1) dan tidak ada orang lain yang amanah, akan tetapi, hukum wajib disini hanya dalam pengertian, sebatas menerima titipan (ashlu al-qabul), bukan sekaligus wajib memberikan pengorbanan ekonomis. Artinya, orang yang dititpi wajib menerima, namun kerugian ekonomis yang ia derita akibat menjaga titipan, tidak wajib ia berikan secara gratis, sehingga ia tetap berhak menuntut ganti rugi kepada pihak yang menitipkan. Konsekuensi hukum wajib ini adalah, berdosa jika menolaknya, akan tetapi tidak ada kewajiban bertanggung jawab apabila barang titipan mengalami kerusakan akibat penolakannya.[2]
ketika orang yang dititipi memeliki kriteria diatas (nomer 1) dan tidak ada orang lain yang amanah, akan tetapi, hukum wajib disini hanya dalam pengertian, sebatas menerima titipan (ashlu al-qabul), bukan sekaligus wajib memberikan pengorbanan ekonomis. Artinya, orang yang dititpi wajib menerima, namun kerugian ekonomis yang ia derita akibat menjaga titipan, tidak wajib ia berikan secara gratis, sehingga ia tetap berhak menuntut ganti rugi kepada pihak yang menitipkan. Konsekuensi hukum wajib ini adalah, berdosa jika menolaknya, akan tetapi tidak ada kewajiban bertanggung jawab apabila barang titipan mengalami kerusakan akibat penolakannya.[2]
3.
Makruh
yaitu orang yang memiliki karakter amanah pada saat menerima titipan, namun tidak percaya diri bisa mempertahankan sifat amanahnya.
yaitu orang yang memiliki karakter amanah pada saat menerima titipan, namun tidak percaya diri bisa mempertahankan sifat amanahnya.
4.
Haram
ketika seseorang mengetahui dirinya tidak mampu menjaga titipan, sebab akan menyia-nyiakan harta.
ketika seseorang mengetahui dirinya tidak mampu menjaga titipan, sebab akan menyia-nyiakan harta.
5.
Mubah
ketika seseorang tidak percaya diri akan mampu mempertahankan sifat amanahnya, atau tidak mempu menjaga titipan dan orang yang menitipkan mengetahui keadaan tersebut, namun tetap menitipkan kepadanya[3]
ketika seseorang tidak percaya diri akan mampu mempertahankan sifat amanahnya, atau tidak mempu menjaga titipan dan orang yang menitipkan mengetahui keadaan tersebut, namun tetap menitipkan kepadanya[3]
Itu
hukum orang yang menerima titipan (wadiah), dari penjelasan diatas bisa kita
tarik kesimpulan, bahwa saat menerima titipan amanah apapun itu bentuknya baik
itu barang yang berfisik atau tidak, harta ataupun jabatan kita harus tahu
dimana posisi kita saat itu ? dalam posisi wajibkah , sunahkah , makruhkah,
mubahkah atau haram menerimanya. Tentu itu yang tahu adalah diri kita sendiri, istafti
qalbak ! Begitupula orang yang memberikan amanah harus selektif dalam
menitipkan barangnya jangan sembarangan (QS. Annisa’ ; 58) sehingga apa yang
dititipkan terjaga dan tetap utuh , bila tidak demikian fantandiri assa’ah “
tungglah kehancurannya.
Sentul, Bogor 05 oktober 2015 06.49 wib
Muhammad Shofi
Mahasiswa Stei Tazkia Jurusan Hukum Bisnis Islam