Jumat, 23 Oktober 2015

1 TAHUN JOKOWI-JK: REFLEKSI EVALUASI EKONOMI


Oleh: Zainal Arifin Sekedang*
Pada 20 Oktober 2015, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) resmi berumur satu tahun di masa pemerintahnya  pertumbuhan di bidang ekonomi tidak sesuai dengan target pemerintah, mulai dari target ekspor, impor, perdagangan, sampai penanaman modal.

Sejak ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum setahun yang lalu (10/2014), kursi kepemimpinan Republik Indonesia dipimpin oleh Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Dengan segudang janji-janji politiknya di masa pra pemilihan Presiden, Jokowi-JK digadang-gadang oleh sebagian masyarakat sebagai sosok yang lahir dari rakyat dan akan mampu mengeluarkan Indonesia dari jurang keterpurukan.
Untuk mewujudkan gagasan kepemimpinan Jokowi-JK, mereka dalam menyusun Nawacita untuk menunjukan prioritasnya sebagai jalan perubahan menuju Indonesia yang bedaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan yang sering juga kita dengar "Indonesia berdikari". Nawacita adalah perpanjangan dari Trisakti yang telah disusun oleh Presiden Soekarno pada masa kepemimpinannya.
Tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah pun kian menurun. menurut survei, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah mengalami penurunan yang signifikan. Dibandingkan dengan 6 bulan lalu dari 57,5% turun menjadi 46%. Terjadi penurunan sekitar 11,5% Ketidakstabilan kondisi indonesia ini turut diperparah dengan melemahnya perekonomian indonesia.
Pelemahan ekonomi nasional ini disebabkaan oleh faktor eksternal dan faktor internal. Secara umum, pelemahan ekonomi ini disebabkan oleh penguatan ekonomi Amerika, sehingga berdampak pada hampir seluruh negara tidak hanya indonesia. Selain itu ketidak mandirian Indonesia dalam memenuhi kebutuhan nasional, indonesia masih mengandalkan impor sehingga neraca perdagangan indonesia kian terpuruk. Hal ini mengakibatkan penaikan harga yang berdampak pada Pemutusan Hak Kerja (PHK) oleh perusahaan-perusahaan.
Dalam menghadapi kondisi seperti ini, Pemerintah sudah mengeluarkan paket-paket kebijakan. Sejauh ini sudah 3 paket kebijakan yang dikeluarkan olehh pemerintah untuk memperkuat kondisi ekonomi Indonesia. Dan hasilnya pun mulai terlihat dengan menguatnya nilai rupiah, yang hingga release ini diterbitkan, sudah menyentuh level Rp. 13.800 per $USD. Tetapi hal ini dinilai hanya sebagai angin segar saja, pasalnya penguatan ekonomi naional ini hanya sementara dikarenakan Bank The Fed yang menunda untuk menaikan tingkat suku bunganya ampai dengan akhir tahun ini. Seharusnya pemerintah dapat mengantisipasi jika sewaktu waktu indonesia kembali dihantam oleh ketidakstabilan ekonomi dunia.
Dalam bidang energi misalnya, isu yang mencuat beredar adalah mengenai perpanjangan kontrak kerjasama dengan PT Freeport. Isu ini tentu saja sangat disayangkan apabila memang benar adanya. Pasalnya potensi yang dimiliki tambang yang selama ini dikelola oleh PT Freeport Indonesia harusnya dapat di kelola sendiri oleh Indonesia dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Tetapi pada kenyataannya indonesia hanya mendapatkan 1% dari keuntungan tambang yang berada di bumi Indonesia ini. Apabila hal ini terus berlanjut, maka Indonesia akan teru bergantung kepada PT Freeport dengan alasan ketidaksiapan teknologi yang dimiliki Indonesia. Dan pada akhirnya rakyat indonesia hanya akan terus sekedar menjadi penonton atas kekayaan buminya. Selain itu Presiden dan Menteri ESDM telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menerbitkan izin ekspor kepada Freeport. Sebab, izin tersebut berlawanan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang mewajibkan seluruh hasil bumi dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selain itu, izin ekspor yang diberikan melalui nota kesepahaman telah mengusik rasa nasionalisme bangsa Indonesia.
Seperti diketahui, terjadi pelambatan ekonomi dalam tahun pertama pemerintahan Jokowi-JK. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2015 sebesar 4,67 persen. Angka tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan semester I-2014 sebesar 4,7 persen.
Kemudian, BPS mencatat juga bahwa total nilai ekspor bulan September 2015 sebesar US$ 12,53 miliar atau turun 1,55 persen dibandingkan bulan Agustus 2015.

Benarkah Ekonomi di Era Jokowi-JK Lebih Buruk Dibanding Masa SBY? 
Berbagai parameter utama ekonomi merosot di awal masa pemerintahan Jokowi-JK. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun ambrol empat hari berturut-turut, sejak Senin lalu 27 April 2015. Total penurunan mencapai 6,4 persen. Benarkah kinerja ekonomi pemerintahan ini lebih buruk dari rezim SBY yang digantikannya?.
Setelah Jokowi-JK terpilih, sejumlah indikator konsumsi memang menunjukkan laju permintaan yang melemah. Sepanjang Januari-Maret 2015, volume penjualan sepeda motor melorot 19 persen dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya; menurut data asosiasi. Begitu pula dengan mobil dan semen, yang masing-masing anjlok 14 persen dan 3 persen.
Sementara itu, saat SBY memulai pemerintahannya, pada kuartal pertama 2005 daya beli masyarakat justru sedang menanjak naik. Tingkat konsumsi domestik baru jebol di kuartal pertama 2006 setelah SBY menaikkan harga BBM bersubsidi dua kali berturut-turut, yakni pada 1 Maret 2005 dan 1 Oktober 2005. Pada Januari-Maret 2006, volume penjualan sepeda motor dan semen anjlok 24 persen dan 4 persen dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Bahkan, ketika itu penjualan mobil ambrol sampai 45 persen. (Sumber:Bareksa.com). Anjloknya laju konsumsi masyarakat di awal pemerintahan Jokowi-JK itu tak pelak memukul kinerja keuangan sejumlah perusahaan konsumsi dan ritel yang tercermin dari laporan keuangan mereka.
Sektor otomotif paling parah terpukul. Pada kuartal pertama tahun ini, penjualan PT Astra Internasional Tbk (ASII) dan PT Indomobil (IMAS) turun 9,3 persen dan 6,4 persen dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.
Perusahaan-perusahaan di sektor konsumsi seperti PT Gudang Garam Tbk (GGRM), PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) dan PT Ace Hardware Tbk (ACES) masih membukukan angka positif, tapi juga melambat dengan angka pertumbuhan yang cuma single digit. Begitu pula dengan industri semen. PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) masih mencatat adanya kenaikan penjualan, tapi hanya 2,6 persen. (Sumber:Bareksa.com). Perlambatan kinerja keuangan emiten di atas juga sebetulnya terjadi di era SBY, pada kuartal pertama tahun 2006.
Bagaimana dengan rasio kredit macet perbankan? Bagusnya di masa awal pemerintahan Jokowi-JK ini, walaupun rasio kredit macet perbankan meningkat, tetapi masih tergolong di level yang rendah. Data rasio Non Performing Loan (NPL) industri secara gross hingga Januari 2015 masih berada di level 2,4 persen. Sedangkan di era SBY, per Januari 2006 rasio NPL berada di level 8,7 persen. (Sumber: Bank Indonesia).
Menurut Rangga Cipta, ekonom senior PT Samuel Sekuritas Indonesia, biasanya ada dua penyebab melemahnya konsumsi masyarakat yakni kenaikan harga atau turunnya pendapatan. “Saya melihat turunnya konsumsi kali ini lebih didorong anjloknya pendapatan akibat harga komoditas yang jebol di tahun 2011 lalu,” katanya kepada analis Bareksa. 
Jika penyebabnya kenaikan harga, itu ditandai dengan kenaikan inflasi. Padahal, saat ini inflasi cenderung berada di level yang rendah. Per akhir Maret 2015 inflasi malah turun ke level 5,04 persen. Hal serupa pernah terjadi pada tahun 2002, di mana tingkat konsumsi melambat tapi angka inflasi rendah.
Sedangkan melorotnya konsumsi di era SBY lebih disebabkan kenaikan harga akibat melonjaknya harga BBM. Hal itu tercermin dari lonjakan laju inflasi tahunan hingga 18,38 persen di bulan November 2005, yang membuat ekonomi melesu di awal tahun 2006. (sumber:Bareksa.com).
Di era Jokowi-JK ini, Rangga melihat terpukulnya konsumsi itu adalah akibat dari turunnya investasi yang memelorotkan pendapatan masyarakat. Turunnya investasi itu tidak secara sekaligus dan langsung berdampak ke konsumsi. Ada jeda waktu 1-2 tahun hingga impaknya baru benar-benar terasa.
Data pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang diolah Bareksa memperkuat argumen Rangga itu. Laju investasi pernah ambrol di tahun 2000-2001, tapi konsumsi di periode itu justru meningkat. Perlambatan baru terjadi di tahun 2002.

Grafik: Pertumbuhan Konsumsi, Investasi,dan GDP Kuartalan (2000-2003). Sumber : BPS (tahun dasar 1998). Sumber : BPS (tahun dasar 2010). 


Referinsi

Kader HMI Komsat STEI Tazkia
Cabang Bogor

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar