Oleh:
Muh.
Firmansyah, Dept. Pembinaan Aparatur Organisasi HMI Cab. Bogor
email : firmansyahgres01@gmail.com
Islam hadir pada kehidupan manusia
tidak dalam suatu ruang dan waktu yang hampa nilai, melainkan di dalam
masyarakat yang sarat berbagai nilai budaya dan religious. Dalam rangka
memahami Islam, maka menjadi penting untuk ikut memahami ruang dan waktu
diamana islam diturunkan. Beberapa ilmu untuk memahami tata nilai dalam masyarakat
tersebut, diantaranya adalah Sosiologi dan Antropologi. Sosiologi merupakan
ilmu yang mempelajari tentang perilaku sosial antara individu dengan individu,
individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Selain itu, sosiologi
juga melihat bagaimana institusi sosial mempengaruhi seseorang, seperti
pemerintah, agama, dan ekonomi serta sebaliknya. Sedangkan Antropologi adalah
ilmu yang membahas tentang keanekaragaman fisik, serta kebudayaannya baik itu
tradisi, dan nilai moral. Mengacu pada dua definisi tersebut kita akan memahami
jazirah arab dari periodi ke periode dengan Antropologi dan memahami interaksi
mereka dengan Sosiologi.
Jazirah Arab belum begitu dikenal
sebelum datangnya al-Qur’an. Jazirah Arab ketika itu belum merupakan kesatuan
politik, budaya, apalagi agama. Bagian utara jazirah arab masih terkoyak oleh
dua kekuasaan besar dunia ketika itu, yaitu Imperium Romawi di Barat yang
berkedudukan di Bizantium dan Imperium Sasania atau Persi di Timur yang
berkedudukan di sekitar Ctesipon. Sementara bagian tengah dan selatan terbebas
dari kedua kekuatan tersebut[1]. Yang dimaksud Jazirah Arab dalam
tulisan ini adalah seperti yang digambarkan al-Faruqi dalam The Cultural Atlas
of Islam, yaitu semenanjung Arab yang terletak di Asia barat-daya Luas
wilayahnya sekitar 1200 x 1500 mil atau 2500 x 2000 kilometer. Batas wilayahnya
berada di antara Laut Mediterania, Palestina bagian utara, dan Padang Syam di
bagian barat. Agak ke Utara berbatasan dengan Hira, Sungai Tigris (Dijlah),
Euphrates (Furat), dan Teluk Persia. Agak ke timur berbatasan dengan Padang
Sahara yang sekaligus menghubungkannya dengan Asia. Agak ke timur berhadapan
dengan teluk Persia. Di sebelah timur berhadapan dengan Samudera Hindia, dan
agak ke selatan berhadapan dengan Laut Merah yang memanjang ke barat[2].
Sejauh yang dapat direkam dalam
sejarah, dunia Arab tidak dapat dipisahkan dengan sejarah klasik Mesopotamia,
yang letaknya bersebelahan dengan Jazirah Arab. Mesopotamia dianggap sebagai
titik tolak sejarah peradaban dan kebudayaan umat manusia. 3500 SM hingga Abad
ke VI menjelang hadirnya Islam, beberapa kerajaan yang tercatat di Mesopotamia
diantaranya adalah Kerajaan Bilalama, Kerajaan Hammurabi, Kerajaan Asyiria,
Kerajaa Achemeid, Kerajaan Parthia, Kerajaan Sasania, dan Kerajaan Romawi
Byzantium. Mobilitas masyarakat menjelang datangnya Islam sudah sangat
besar. Hal ini dapat dilihat dengan
berkembangnya agama Yahudi di Yaman, daerah bagian timur Jazirah Arab.
Perkembangan berikutnya, bangsa Arab berkembang menjadi kelompok masyarakat,
mereka yang tertinggal pada umumnya berdomisili di daerah padang pasir tandus
dan sebaliknya meraka yang maju berdomisili di wilayah strategis[3].
Wilayahnya terdiri atas sebagian
besar padang pasir. Hanya ada beberapa kawasan, misalnya di daerah selatan dan
sebagian di daerah utara, yang tanahnya cukup subur dan lebih dikenal sebagai
daerah bulan sabit subur (Fertile
Cresscent)[3]. Kawasan ini tidak pernah dikenal sebagai pusat
kekuasaan atau pusat budaya penting serta belum pernah ada muncul figur sentral. Penduduk yang mendiami
Jazirah Arab terdiri atas berbagai suku, namun dapat diidentifikasi mereka itu
tergolong dalam satu bangsa Asia Barat, yang kemudian dipopulerkan oleh Sarjana
Barat dengan bangsa Semit (Semitic Race). Nama “Semit” diambil dari
Kitab Perjanjian Lama yang menceritakan Sem, Putra Nabi Nuh yang beranak cucu
sampai kepada Terah yang melahirkan Nabi Ibrahim,[4] kemudian
melahirkan Nabi Ismail dan Nabi Ishaq[5].
Menjelang kehadiran Rasul penutup,
Makkah telah mencapai kesuksesan mencengangkan. Kota itu kini merupakan pusat
perdagangan internasional dan para pedagang dan pemodalnya telah menjadi kaya
raya melampaui impian tertinggi mereka. Sebelumnya mereka adalah kaum nomadik,
berpindah tempat dengan gembalanya untuk mencari sumber air dan hamparan untuk
menggembala. Kehidupan nomadik (badawah)
merupakan perjuangan yang suram dan keras karena ada terlalu banyak orang
memperebutkan sumberdaya yang sangat sedikit. Karenanya, ghazw (serangan merebut harta) menjadi esensial bagi ekonomi kaum nomadik (badawah).[5]
Meskipun orang Makkah telah
meninggalkan kehidupan nomadik, mereka masih menganggap kaum badui (sebutan
untuk kaum nomadik) senagai pengawal budaya Arab yang autentik. Kaum Badui
tidak terlalu tertarik dengan agama konvensional, berbeda dengan orang Makkah
yang telah mengenal ritual Hajj dan
mengembangkan pandangan hidupnya. Tetapi
mereka mengembangkan aturan keprajuritan, yang menjalankan fungsi esensial
agama dengan memberi makna kepada kehidupan mereka dan mencegah pada
keputusasaan dalam hidup yang keras di padang gurun. Mereka menyebutnya muruwah, sebuah istilah yang sulit
dicarikan padanan yang tepat. Muruwah
bisa berarti keberanian, kesabaran, ketahanan; Muruwah merupakan tekad kuat untuk membalas setiap pelanggaran yang
dilakukan terhadap kelompok, melindungi anggotanya, dan menumpas
musuh-musuhnya.[5]
Kehidupan di padang gurun
membutuhkan sikap congkak (istighna’),
yaitu keyakinan untuk berani mempertaruhkan diri sendiri melawan berbagai
kesulitan. Oleh karena itu kaum badui sangat mudah digerakkan ke titik ekstrem
dengan sedikit provokasi saja. Di
masa lalu, banyak oran Badui berusaha meninggalkan kehidupan nomadik serta padang stepa dan membangun
kehidupan bermukim (hadarah) yang
lebih aman. Namun upaya mereka biasanya dikandaskan oleh kurangnya sumber air
dan tanah tandus. Namun
selama abad keenam, sebuah peluang baru muncul akibat dari revolusi
transportasi. Kaum Badui telah menciptakan sadel yang memungkinkan unta-unta
membawa beban yang jauh lebih berat dari sebelumnya, dan para pedagang dari
India, Afrika Timur, Yaman dan Bahrain mulai menggantikan kereta keledai mereka
dengan unta-unta yang bisa bertahan beberapa hari tanpa air dan sangat cocok
melintasi gurun. Makkah menjadi sebuah perhentian bagi karavan yang bergerak ke
arah utara ini. Kota itu dengan tepat berlokasi di pusat tanah Hijaz, dan meskipun berdiri di atas
batu keras yang membuat pertanian mustahil dikembangkan disana, permukiman bias
didirikan lantaran adanya sumber air bawah tanah yang disebut Zamzam oleh bangsa arab[5]
Masyarakat Arab tahu tentang
agama-agama monoteisme Yudaisme dan Kristianitas. Beberapa Yahudi juga tinggal
di beberapa wilayah jazirah Arab setelah terjadi Invasi Babel dan Romawi ke
Palestina. Ada Komunitas Kristen di Yaman dan sepanjang garis perbatasan di
Bizantium. Mereka menyebut orang Yahudi dan Kristen ahl al-kitab (Pemegang Kitab). Mereka mengagumi pernyataan teks
yang diwahyukan dan berharap memiliki kitab suci dalam bahasa mereka sendiri.
Hal ini dicirikan dari syair-syair kuno yang pernah dilantunkan sebelum
hadirnya Islam. Allah menurut keyakinan mereka, adalah Tuhan yang disembah oleh
Yahudi dan Kristen.[3]
Selain telah mengetahui agama-agama
monoteisme, masyarakat Arab juga telah mewarisi hukum-hukum yang mengatur
kehidupan bermasyarakat. Hukum tersebut merupakan warisan kuno Kerajaan
Hammurabi, atau sering disebut sebagai Kode Hammurabi (Code of Hammurabi). Hukum ini bersifat balas dendam sederajat (Lex talionis). Hukum Lex Talionis
mengalami modifikasi dengan diperkenankannya menerima uang tebusan (diyat). Pada masa Nabi Muhammad,
Institusi diyat berkembang pesat
dengan tetap memperhatikan unsur budaya pada masyarakat ini.[3]
Dalam kehidupan sosial masyarakat
Arab, kelompok yang lebih kuat akan mempunyai pengaruh lebih besar dan menjadi patron klien serta tempat berlindung
bagi orang-orang yang lemah dan tidak memiliki suku. Kelompok yang mendapat
perlindungan ini disebut sebagai mawali.
Orang-orang mawali memiliki status
lebih tinggi dari budak hanya saja mereka dibebani kewajiban kepada
pelindungnya. Mawali tidak
diperkenankan mengawini pelindungnya dan mendapat tempat paling belakang ketika
pesta atau pertemuan. Masyarakat Arab terbiasa memberikan gelar-gelar tertentu
kepada seseorang, misalnya al-ajamiy
untuk orang-orang hasil pernikahan campuran dan orang yang tidak fasih
berbahasa arab.[3]
Dalam lintasan sejarah keluarga (family) dikenal setidaknya tiga bentuk
dasar keluarga. Pertama, keluarga inti (nuclear
family), keluarga luas (extended
family), dan kelompok keturunan (corporate
descent groups). Jika dilihat dari sudut sistem kekerabatan maka keluarga
Arab pra-Islam dapat dibedakan dalam lima bentuk, yaitu : kabilah (qabilah/tribe), subkabilah (ashirah), suku (hamulah/clan, lineage), keluarga besar (ailah/extended family), dan keluarga kecil (usrah/nuclear family). Dalam hubungan keluarga masyarakat arab
menganut sistem patriarki (al-mujtama’ al-abawiy) seperti
masyarakat Timur Tengah pada umumnya. Dalam tatanan masyarakat arab, perempuan
memiliki peran yang dibatasi bahkan kehadiran bayi perempuan merupakan aib baki
keluarga.[3]
Serangkaian uraian mengenai kondisi
Jazirah Arab diatas baik mengenai kondisi alam, perilaku, tatanan sosial,
budaya, dan agama merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Terlebih lagi
kehadiran Islam pada masayarat Arab menjadi sesuatu yang saling berkaitan
dengan kondisi tersebut. Hal ini merupakan hal yang sangat esensial dalam upaya
memahami Islam secara utuh (kaffah).
Catatan
Kaki :
[1]
Muhammad Husain Haikal, Hayat Muhammad, Al-Qahirah: Dar al-Ma’arif. T.Th., h.
73-76
[2]
Isma’il R. al-Faruqi & Louis Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam,
New York: Macmillan Publishing Company, 1986, h. 3
[3]
Prof H Nasruddin Umar, MA. Teologi Gender, Jakarta: Pustaka Cicero, 2003, h. 88-93
[3]
Lihat Ibn Atsir, Al-Kamil fi al Tarikh, Juz 1, Beirut Dar al-Fikr, 1978, h.
62-63
[4]
Lihat Kitab Perjanjian Lama, Kitab Kejadian (Genesis) pasal 10 dan 11.
[5]
Karen Amstrong. Muhammad Prophet for Our Time, Bandung: Mizan, 2007, h. 41-70