Sabtu, 03 Oktober 2015

SOSIOLOGIS DAN ANTROPOLOGIS JAZIRAH ARAB



Oleh:


Muh. Firmansyah, Dept. Pembinaan Aparatur Organisasi HMI Cab. Bogor


email : firmansyahgres01@gmail.com


            Islam hadir pada kehidupan manusia tidak dalam suatu ruang dan waktu yang hampa nilai, melainkan di dalam masyarakat yang sarat berbagai nilai budaya dan religious. Dalam rangka memahami Islam, maka menjadi penting untuk ikut memahami ruang dan waktu diamana islam diturunkan. Beberapa ilmu untuk memahami tata nilai dalam masyarakat tersebut, diantaranya adalah Sosiologi dan Antropologi. Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku sosial antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Selain itu, sosiologi juga melihat bagaimana institusi sosial mempengaruhi seseorang, seperti pemerintah, agama, dan ekonomi serta sebaliknya. Sedangkan Antropologi adalah ilmu yang membahas tentang keanekaragaman fisik, serta kebudayaannya baik itu tradisi, dan nilai moral. Mengacu pada dua definisi tersebut kita akan memahami jazirah arab dari periodi ke periode dengan Antropologi dan memahami interaksi mereka dengan Sosiologi.

          Jazirah Arab belum begitu dikenal sebelum datangnya al-Qur’an. Jazirah Arab ketika itu belum merupakan kesatuan politik, budaya, apalagi agama. Bagian utara jazirah arab masih terkoyak oleh dua kekuasaan besar dunia ketika itu, yaitu Imperium Romawi di Barat yang berkedudukan di Bizantium dan Imperium Sasania atau Persi di Timur yang berkedudukan di sekitar Ctesipon. Sementara bagian tengah dan selatan terbebas dari kedua kekuatan tersebut[1]. Yang dimaksud Jazirah Arab dalam tulisan ini adalah seperti yang digambarkan al-Faruqi dalam The Cultural Atlas of Islam, yaitu semenanjung Arab yang terletak di Asia barat-daya Luas wilayahnya sekitar 1200 x 1500 mil atau 2500 x 2000 kilometer. Batas wilayahnya berada di antara Laut Mediterania, Palestina bagian utara, dan Padang Syam di bagian barat. Agak ke Utara berbatasan dengan Hira, Sungai Tigris (Dijlah), Euphrates (Furat), dan Teluk Persia. Agak ke timur berbatasan dengan Padang Sahara yang sekaligus menghubungkannya dengan Asia. Agak ke timur berhadapan dengan teluk Persia. Di sebelah timur berhadapan dengan Samudera Hindia, dan agak ke selatan berhadapan dengan Laut Merah yang memanjang ke barat[2].

            Sejauh yang dapat direkam dalam sejarah, dunia Arab tidak dapat dipisahkan dengan sejarah klasik Mesopotamia, yang letaknya bersebelahan dengan Jazirah Arab. Mesopotamia dianggap sebagai titik tolak sejarah peradaban dan kebudayaan umat manusia. 3500 SM hingga Abad ke VI menjelang hadirnya Islam, beberapa kerajaan yang tercatat di Mesopotamia diantaranya adalah Kerajaan Bilalama, Kerajaan Hammurabi, Kerajaan Asyiria, Kerajaa Achemeid, Kerajaan Parthia, Kerajaan Sasania, dan Kerajaan Romawi Byzantium. Mobilitas masyarakat menjelang datangnya Islam sudah sangat besar.  Hal ini dapat dilihat dengan berkembangnya agama Yahudi di Yaman, daerah bagian timur Jazirah Arab. Perkembangan berikutnya, bangsa Arab berkembang menjadi kelompok masyarakat, mereka yang tertinggal pada umumnya berdomisili di daerah padang pasir tandus dan sebaliknya meraka yang maju berdomisili di wilayah strategis[3].

            Wilayahnya terdiri atas sebagian besar padang pasir. Hanya ada beberapa kawasan, misalnya di daerah selatan dan sebagian di daerah utara, yang tanahnya cukup subur dan lebih dikenal sebagai daerah bulan sabit subur (Fertile Cresscent)[3]. Kawasan ini tidak pernah dikenal sebagai pusat kekuasaan atau pusat budaya penting serta belum pernah ada muncul figur sentral. Penduduk yang mendiami Jazirah Arab terdiri atas berbagai suku, namun dapat diidentifikasi mereka itu tergolong dalam satu bangsa Asia Barat, yang kemudian dipopulerkan oleh Sarjana Barat dengan bangsa Semit (Semitic Race). Nama “Semit” diambil dari Kitab Perjanjian Lama yang menceritakan Sem, Putra Nabi Nuh yang beranak cucu sampai kepada Terah yang melahirkan Nabi Ibrahim,[4] kemudian melahirkan Nabi Ismail dan Nabi Ishaq[5].


            Menjelang kehadiran Rasul penutup, Makkah telah mencapai kesuksesan mencengangkan. Kota itu kini merupakan pusat perdagangan internasional dan para pedagang dan pemodalnya telah menjadi kaya raya melampaui impian tertinggi mereka. Sebelumnya mereka adalah kaum nomadik, berpindah tempat dengan gembalanya untuk mencari sumber air dan hamparan untuk menggembala. Kehidupan nomadik (badawah) merupakan perjuangan yang suram dan keras karena ada terlalu banyak orang memperebutkan sumberdaya yang sangat sedikit. Karenanya, ghazw (serangan merebut harta) menjadi esensial bagi ekonomi kaum nomadik (badawah).[5]

            Meskipun orang Makkah telah meninggalkan kehidupan nomadik, mereka masih menganggap kaum badui (sebutan untuk kaum nomadik) senagai pengawal budaya Arab yang autentik. Kaum Badui tidak terlalu tertarik dengan agama konvensional, berbeda dengan orang Makkah yang telah mengenal ritual Hajj dan mengembangkan pandangan hidupnya.  Tetapi mereka mengembangkan aturan keprajuritan, yang menjalankan fungsi esensial agama dengan memberi makna kepada kehidupan mereka dan mencegah pada keputusasaan dalam hidup yang keras di padang gurun. Mereka menyebutnya muruwah, sebuah istilah yang sulit dicarikan padanan yang tepat. Muruwah bisa berarti keberanian, kesabaran, ketahanan; Muruwah merupakan tekad kuat untuk membalas setiap pelanggaran yang dilakukan terhadap kelompok, melindungi anggotanya, dan menumpas musuh-musuhnya.[5]

            Kehidupan di padang gurun membutuhkan sikap congkak (istighna’), yaitu keyakinan untuk berani mempertaruhkan diri sendiri melawan berbagai kesulitan. Oleh karena itu kaum badui sangat mudah digerakkan ke titik ekstrem dengan sedikit provokasi saja. Di masa lalu, banyak oran Badui berusaha meninggalkan kehidupan nomadik serta padang stepa dan membangun kehidupan bermukim (hadarah) yang lebih aman. Namun upaya mereka biasanya dikandaskan oleh kurangnya sumber air dan tanah tandus. Namun selama abad keenam, sebuah peluang baru muncul akibat dari revolusi transportasi. Kaum Badui telah menciptakan sadel yang memungkinkan unta-unta membawa beban yang jauh lebih berat dari sebelumnya, dan para pedagang dari India, Afrika Timur, Yaman dan Bahrain mulai menggantikan kereta keledai mereka dengan unta-unta yang bisa bertahan beberapa hari tanpa air dan sangat cocok melintasi gurun. Makkah menjadi sebuah perhentian bagi karavan yang bergerak ke arah utara ini. Kota itu dengan tepat berlokasi di pusat  tanah Hijaz, dan meskipun berdiri di atas batu keras yang membuat pertanian mustahil dikembangkan disana, permukiman bias didirikan lantaran adanya sumber air bawah tanah yang disebut Zamzam oleh bangsa arab[5]

            Masyarakat Arab tahu tentang agama-agama monoteisme Yudaisme dan Kristianitas. Beberapa Yahudi juga tinggal di beberapa wilayah jazirah Arab setelah terjadi Invasi Babel dan Romawi ke Palestina. Ada Komunitas Kristen di Yaman dan sepanjang garis perbatasan di Bizantium. Mereka menyebut orang Yahudi dan Kristen ahl al-kitab (Pemegang Kitab). Mereka mengagumi pernyataan teks yang diwahyukan dan berharap memiliki kitab suci dalam bahasa mereka sendiri. Hal ini dicirikan dari syair-syair kuno yang pernah dilantunkan sebelum hadirnya Islam. Allah menurut keyakinan mereka, adalah Tuhan yang disembah oleh Yahudi dan Kristen.[3]

            Selain telah mengetahui agama-agama monoteisme, masyarakat Arab juga telah mewarisi hukum-hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat. Hukum tersebut merupakan warisan kuno Kerajaan Hammurabi, atau sering disebut sebagai Kode Hammurabi (Code of Hammurabi). Hukum ini bersifat balas dendam sederajat (Lex talionis). Hukum Lex Talionis mengalami modifikasi dengan diperkenankannya menerima uang tebusan (diyat). Pada masa Nabi Muhammad, Institusi diyat berkembang pesat dengan tetap memperhatikan unsur budaya pada masyarakat ini.[3]

            Dalam kehidupan sosial masyarakat Arab, kelompok yang lebih kuat akan mempunyai pengaruh lebih besar dan menjadi patron klien serta tempat berlindung bagi orang-orang yang lemah dan tidak memiliki suku. Kelompok yang mendapat perlindungan ini disebut sebagai mawali. Orang-orang mawali memiliki status lebih tinggi dari budak hanya saja mereka dibebani kewajiban kepada pelindungnya. Mawali tidak diperkenankan mengawini pelindungnya dan mendapat tempat paling belakang ketika pesta atau pertemuan. Masyarakat Arab terbiasa memberikan gelar-gelar tertentu kepada seseorang, misalnya al-ajamiy untuk orang-orang hasil pernikahan campuran dan orang yang tidak fasih berbahasa arab.[3]

            Dalam lintasan sejarah keluarga (family) dikenal setidaknya tiga bentuk dasar keluarga. Pertama, keluarga inti (nuclear family), keluarga luas (extended family), dan kelompok keturunan (corporate descent groups). Jika dilihat dari sudut sistem kekerabatan maka keluarga Arab pra-Islam dapat dibedakan dalam lima bentuk, yaitu : kabilah (qabilah/tribe), subkabilah (ashirah), suku (hamulah/clan, lineage), keluarga besar (ailah/extended family), dan keluarga kecil (usrah/nuclear family). Dalam hubungan keluarga masyarakat arab menganut sistem patriarki (al-mujtama’ al-abawiy) seperti masyarakat Timur Tengah pada umumnya. Dalam tatanan masyarakat arab, perempuan memiliki peran yang dibatasi bahkan kehadiran bayi perempuan merupakan aib baki keluarga.[3]

            Serangkaian uraian mengenai kondisi Jazirah Arab diatas baik mengenai kondisi alam, perilaku, tatanan sosial, budaya, dan agama merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Terlebih lagi kehadiran Islam pada masayarat Arab menjadi sesuatu yang saling berkaitan dengan kondisi tersebut. Hal ini merupakan hal yang sangat esensial dalam upaya memahami Islam secara utuh (kaffah).


Catatan Kaki :


[1] Muhammad Husain Haikal, Hayat Muhammad, Al-Qahirah: Dar al-Ma’arif. T.Th., h. 73-76

[2] Isma’il R. al-Faruqi & Louis Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, New York: Macmillan Publishing Company, 1986, h. 3

[3] Prof H Nasruddin Umar, MA. Teologi Gender, Jakarta: Pustaka Cicero, 2003, h. 88-93

[3] Lihat Ibn Atsir, Al-Kamil fi al Tarikh, Juz 1, Beirut Dar al-Fikr, 1978, h. 62-63

[4] Lihat Kitab Perjanjian Lama, Kitab Kejadian (Genesis) pasal 10 dan 11.

[5] Karen Amstrong. Muhammad Prophet for Our Time, Bandung: Mizan, 2007, h. 41-70





Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar