Akhir-akhir ini, sering kita melihat
banyaknya mahasiswa turun ke jalan dan menuntut kepada pemerintah sekarang,
dari mengubah kebijakannya seperti masalah harga BBM hingga pemerintah itu
sendiri, terutama penguasa, untuk turun dari jabatannya. Sering kita mendengar
bahwa mahasiswa adalah agen perubahan, penggerak dan pendobrak kebekuan. Kita
sering memahami itu dari sejak pra-kemerdekaan hingga menjelang kemerdekaan.Mahasiswa merupakan salah satu simbol
dari apa yang disebut kepemudaan. Pemuda merupakan generasi yang baru saja
terbentuk baik tingkah lakunya maupun pola pikirnya, sehingga seiring dengan
itu, timbullah perkembangan dalam dirinya, baik dari dalam dirinya berupa
kontemplasi, perenungan dan pemikiran, dan dari luar dirinya seperti memahami
keadaan sekitar, dengan responnya berupa keprihatinan, kemarahan, keraguan dan
lain sebagainya.
Apa yang membedakan mahasiswa yang
secara khusus adalah simbol kepemudaan dibanding kepemudaan itu sendiri?
Masalah pembedaan ini tidak hanya terkait antara kaitan umum dan khusus seperti
masalah deduksi dan induksi, akan tetapi suatu ciri khas. Mahasiswa memiliki
kelebihan dalam memahami dan menciptakan ilmu pengetahuan berupa ‘teori’.
Sering kita baca-baca buku sekitar pengembangan teori yang memiliki apa yang
disebut cara berpikir dan metodologi dalam meneliti. Ya, mahasiswa memiliki
senjata terbesarnya, yaitu pola berpikir yang runut alias sistematis, sesuai
dengan hukum cara berpikir yaitu logis, dapat diterima sebagai suatu yang masuk
akal dan diterima common sense, yaitu rasional, dan dapat dirasakan oleh
pancaindera, yaitu empirik.
Nah, kita sering memahami bahwa
mahasiswa dan pemuda itu amatlah terkait erat, meskipun ada pula yang menjadi
mahasiswa di saat seseorang sudah berumur. Masalah muda atau tidaknya memang
itu adalah masalah jiwa di dalam dirinya, yaitu sering berkobar dan panas
darahnya. Seiring dengan perkembangan dirinya tersebut, kita tentu paham akan
terbentuknya suatu idealisme bagi setiap orang, dan idealisme itu terbentuk
utamanya pada masa muda. Dengan kata lain, pemuda dan mahasiswa itu akan sering
terkait erat dengan apa yang dinamakan idealisme.
Dalam ranah filsafat pun, sering
terjadi perdebatan mengenai idealisme dengan realisme. Jika kita mengikuti
sejarah perjalanan filsafat secara awal, maka kita akan menemukan perdebatan
antara Plato dengan konsep idealismenya, dan Aristoteles dengan konsep
realismenya. Kecenderungan idealisme terkadang bis terjebak dan terjerumus pada
cara berpikir kaku, naif, terlalu mengawang dan terkadang utopis, sedangkan
realisme mengarah pada pikiran ekstrim berupa pragmatis, tak punya pendirian,
mencakup hal sempit, serta terkadang munafik.
Perdebatan mengenai idealisme dan
realisme ini, tak hanya terjadi dalam filsafat semata, namun hingga pada
masalah konkret dalam tindakan nyata kini. Penulis sudah menjelaskan mengenai
mahasiswa dan pemuda yang dalam hal ini sering sekali tercampur antara egonya,
kepribadian yang berkobar dan berdarah panas dan masalah idealisme yang
terbentuk seiring perkembangan dirinya dalam masa-masa yang memang sangat
krusial. Akan tetapi, perlu sekali bila kita juga memahami hakikat media dalam
‘menunggangi’ sebagian idealisme mahasiswa di luar sana.
Mengapa media dapat menjadi alat
untuk ‘mengendalikan’ secara tidak langsung masyarakat, khususnya mahasiswa?
Jawabannya adalah masalah dari kecenderungan. Sering kita temui di dalam
masyarakat dalam memilah berita sekehendaknya, sesuai dengan kecenderungannya.
Misal si A suka dengan B, maka berita mengenai B yang positif selalu dirujukkan
dan menjadi pembicaraan tentang positinya B. Sedangkan si C tidak suka, bahkan
benci, terhadap si B. Sehingga, berita mengenai B, yang jelek dan negatif,
selalu ditonjolkan dan mengumandangkan bahwa si B itu jelek dan bahkan segala
caci maki yang dilayangkannya kepada si B.Kita tentu sudah mulai menjamur
website berita dan informasi, baik yang resmi maupun tidak resmi, bermunculan.
Terkadang, yang resmi pun selalu condong pada pihak tertentu. Apalagi yang
tidak resmi, sering kali menyebarkan informasi yang kadang tendensius dan
memecah belah, bahkan bernada makian dan fitnahan. Ini adalah realita di negara
kita. Dan, sering kode etik pers dilanggar dan bahkan sudah tidak dipedulikan.
Sebagai mahasiswa, yang memiliki cara
berpikir yang ‘lebih maju’ dari masyarakat awam, sudah seharusnya paham, mana
berita yang memang berita dan mana yang hanya abal-abal. Kuncinya adalah
objektivitas! Sering kali mahasiswa kita tidak berpikir objektif, asal
berbicara saja kalau ada informasi. Mengatakan rezim ini tidak adil! Padahal
belum dipastikan hal tersebut. Yang ada bila sifat objektivitas mahasiswa ini
hilang dari peredaran, gampanglah orang idealis seperti mahasiswa gampang
ditunggangi oleh para penyebar berita tendensius sekedar mencari sensasi dan
para kapitalis informasi yang hanya mencari pasaran saja! Idealis pun butuh
berpikir, butuh merenung, butuh melihat realitas. Juga butuh untuk bersikap
adil, baik kepada dirinya, kepada orang lain dan bahkan kepada lawannya.
Sebagai kata penutup, perlu sekali
kita ingatkan sekali lagi tentang keutamaan mahasiswa dibanding yang lain,
yaitu cara berpikirnya secara logis, rasional dan empiris. Tak hanya itu, sikap
moral kita pun perlu diperkuat, semisal masalah adab. Sehingga, bila hal ini
terpenuhi, maka kita dapat melahirkan apa yang disebut adil, bisa memandang
suatu informasi secara berimbang. Kalau sudah begitu, lahir apa yang disebut
manusia yang objektif. Tentu, khususnya kita sebagai seorang Muslim, perlu
sekali bersifat Qisth dan Wasath. Kalau tidak, terpecahlah kita...
Ditulis oleh: Kiagus Iqbal
Kader HMI Tazkia